PERBEDAAN INDIVIDU (INDIVIDUAL DIFFERENCE)
DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A.
Pendahuluan
Siswa merupakan individual yang unik artinya
tidak ada dua orang siswa yang sama persis, dengan kata
lain siswa memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan individu dalam kemampuan belajar meliputi faktor genetika, kognisi dan perilaku. Dalam hal ini perbedaan
individu berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa.
Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbedaan individual kurang memberikan hasil yang
optimal. Perbedaan individu meliputi genetika,
kognisi dan perilaku.
1. Genetik
Dalam pembelajaran, genetik merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan individual. Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan dalam hal genetik berpengaruh kuat terhadap hasil prestasi belajar siswa khususnya kemampuan matematika. Kemampuan matematika dianggap bawaan, setidaknya sebagian, secara genetik ditentukan. Gagasan bahwa anak-anak lahir dengan kemampuan matematika didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa bayi pra-verbal dan beberapa spesies hewan tampaknya mempunyai rasa bawaan (Dehaene, 1997). Kemampuan bawaan memberikan dasar sistem angka dan operasi matematika dibangun (Misalnya, Butterworth, 1999). Pernyataan ini untuk mempertimbangkan apakah perbedaan individu dalam kemampuan matematika adalah hasil alam (yaitu, gen) atau memelihara (misalnya, mengajar).
Dalam pembelajaran, genetik merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan individual. Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan dalam hal genetik berpengaruh kuat terhadap hasil prestasi belajar siswa khususnya kemampuan matematika. Kemampuan matematika dianggap bawaan, setidaknya sebagian, secara genetik ditentukan. Gagasan bahwa anak-anak lahir dengan kemampuan matematika didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa bayi pra-verbal dan beberapa spesies hewan tampaknya mempunyai rasa bawaan (Dehaene, 1997). Kemampuan bawaan memberikan dasar sistem angka dan operasi matematika dibangun (Misalnya, Butterworth, 1999). Pernyataan ini untuk mempertimbangkan apakah perbedaan individu dalam kemampuan matematika adalah hasil alam (yaitu, gen) atau memelihara (misalnya, mengajar).
Tujuan
di sekolah dan pendidikan profesional, mengidentifikasi berbasis
komputer dengan menilai kesulitan belajar dalam matematika
untuk anak usia 5 sampai 14 tahun. Identifikasi gangguan fungsi matematika didasarkan pada kecepatan respon anak (waktu) dan perbandingan angka
(mengidentifikasi lebih besar dari dua angka), dan mengukur kemampuan
aritmatika. Jika dilakukan perbaikan, ada kebutuhan yang jelas
untuk memastikan apakah
kesulitan adalah hasil dari besarnya gangguan representasi angka, atau sebab-sebab
lainnya. Kemungkinan perbaikan strategi meliputi metode memperkuat representasi
besarnya melalui penggunaan contoh). Namun, jika kita ingin menerima kelainan
genetik sebagai penyebab kesulitan belajar maka tindakan
yang terbaik mungkin dengan mengelola ketidakmampuan yaitu membangun kekuatan kognitif lain.
2. Kognitif
Studi
tentang kognisi matematika upaya untuk menjawab pertanyaan mendasar struktur
dan proses dalam matematika pengolahan: pengetahuan bagaimana numerik dan matematika terwakili dalam otak, dan bagaimana kita memecahkan masalah matematika.
Pendekatan dicontohkan oleh Robert Siegler, yang
selama beberapa tahun telah mempelajari perkembangan
pemecahan masalah matematika, dan mengembangkan fungsional jaringan model pengembangan matematika. Model ini berpendapat bahwa jawaban yang benar dan salah adalah disimpan dalam
sebuah jaringan interkoneksi fakta dalam jangka panjang memori. Model
ini membantu untuk memprediksi kekurangan yang mungkin
ditemukan pada seorang individu dengan kesulitan belajar. Pertama,
model ini menunjukkan bahwa akurasi penghitungan awal sangat penting untuk
membangun kuat hubungan antara soal yang diberikan dan jawabannya. Anak-anak yang menghitung akurat akan cenderung untuk membangun
jaringan efisien fakta angka dalam jangka panjang
memori mereka. Kedua, anak-anak yang
tidak mengembangkan jaringan hanya akan mengandalkan
strategi seperti menghitung, yang mungkin cocok untuk masalah kecil, tapi tidak
efisien untuk yang lebih besar dan lebih kompleks. Siegler (1987, 1999) telah
menemukan bahwa anak-anak menggunakan berbagai strategi di sepanjang waktu
ketika pemecahan masalah, dengan terus mengubah frekuensi
strategi yang ada dan penemuan sesekali strategi baru.
Jadi
jika kita memiliki siswa yang menunjukkan bukti dari satu atau lebih
kekurangan kognitif apa yang bisa dilakukan? kesulitan Matematika terkait dengan menggunakan kuranganya kemampuan strategi dan menghitung dapat ditargetkan dengan intervensi disesuaikan. Secara teoritis, satu instruksi ke instruksi lainnya harus meningkatkan menghitung kinerja (aritmatika) dan meningkatkan kepercayaan anak (misalnya, program pemulihan berhitung).
kekurangan kognitif apa yang bisa dilakukan? kesulitan Matematika terkait dengan menggunakan kuranganya kemampuan strategi dan menghitung dapat ditargetkan dengan intervensi disesuaikan. Secara teoritis, satu instruksi ke instruksi lainnya harus meningkatkan menghitung kinerja (aritmatika) dan meningkatkan kepercayaan anak (misalnya, program pemulihan berhitung).
3. Perilaku
Di dalam dan di luar kelas, masalah berhitung anak-anak menampilkan diri dalam beberapa cara. Seperti telah dicatat, kesulitan-kesulitan ini dapat spesifik atau terkait dengan masalah belajar lainnya seperti bahasa. Akhirnya ada dua sumber lebih lanjut variasi perilaku yang berinteraksi dengan faktor-faktor kognitif yang dapat menjelaskan perbedaan individu dalam kemampuan matematika. Faktor kognitif ini adalah gaya dan kecemasan matematika. Gaya kognitif seorang individu menggambarkan pendekatan yang disukainya untuk mengatur dan mewakili informasi (Riding, 2002). Gaya kognitif memiliki dua dimensi: apakah orang melihat seluruh atau hanya melihat hal-hal sebagian dan apakah orang lebih memilih untuk mewakili informasi secara lisan atau sebagai gambar.
Di dalam dan di luar kelas, masalah berhitung anak-anak menampilkan diri dalam beberapa cara. Seperti telah dicatat, kesulitan-kesulitan ini dapat spesifik atau terkait dengan masalah belajar lainnya seperti bahasa. Akhirnya ada dua sumber lebih lanjut variasi perilaku yang berinteraksi dengan faktor-faktor kognitif yang dapat menjelaskan perbedaan individu dalam kemampuan matematika. Faktor kognitif ini adalah gaya dan kecemasan matematika. Gaya kognitif seorang individu menggambarkan pendekatan yang disukainya untuk mengatur dan mewakili informasi (Riding, 2002). Gaya kognitif memiliki dua dimensi: apakah orang melihat seluruh atau hanya melihat hal-hal sebagian dan apakah orang lebih memilih untuk mewakili informasi secara lisan atau sebagai gambar.
Matematika
telah lama dikaitkan dengan peningkatan tingkat kecemasan, baik pada siswa
menderita dari kecemasan secara umum kepada mereka yang memiliki masalah subjek secara spesifik. Ashcraft
dan Kirk (2001) orang belajar selama pemecahan masalah untuk mengevaluasi
bagaimana kecemasan matematika terpengaruh kemampuan
matematis. Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan kecemasan matematika dikaitkan dengan penurunan kapasitas
memori kerja. Individu dengan kecemasan matematika tinggi
menunjukkan yang signifikan penurunan kinerja pemecahan masalah.
B.
Perbedaan
Gender pada Pembelajaran Matematika
Ada sejarah yang
cukup panjang penelitian tentang gender dan pendidikan matematika yang telah
bergeser agak fokus selama dekade terakhir dari umum ke yang lebih
spesifik. Pengertian gender
adalah suatu sifat
yang melekat pada laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Menurut Jagtenberg dan D'Alton
(1995), “gender and sex are not the
same thing. Gender specifically
refers to the social meanings attached to biological differences. ... The way we see ourselves and the way we
interact are affected by our internalisation of values and assumptions about
gender”.
Pencapaian
Maccoby dan Jacklin (1974) mengklaim bahwa setelah usia 12 tahun, anak laki-laki
melebihi anak perempuan di kemampuan matematis. Halpern (1986)
mengklaim bahwa di antara anak-anak berusia antara 13 dan 16 tahun, anak laki-laki mengungguli perempuan secara konsisten
dalam kemampuan tes matematika.
Perbedaan
gender yang
paling jelas untuk tes yang melibatkan pemecahan masalah, pada kenyataannya tes yang melibatkan
perhitungan cenderung mendukung perempuan. Perbedaan juga paling jelas untuk
sampel lebih selektif. Semakin besar sampel yang dipilih berdasarkan kemampuan, semakin besar perbedaan
pencapaian antara anak laki-laki dan perempuan. Akhirnya, perbedaan hanya
terlihat dalam studi di mana anak-anak berusia 15 tahun atau lebih, perbedaan antara anak laki-laki dan
perempuan di antara populasi umum, antara 10% berprestasi, anak laki-laki kalah
jumlah perempuan.
Data
TIMSS mengungkapkan perbedaan gender dengan prestasi matematika (Mullis et al, 2000.). Sebagian kecil perbedaan
prestasi keseluruhan antara anak laki-laki dan perempuan ditemukan di antara 9
dan 13 tahun.
Perbedaan dalam pencapaian hanya telah ditunjukkan untuk tetap ada dalam bidang tertentu, untuk
jenis masalah tertentu dan hanya sekali siswa mencapai usia tertentu.
Ada
perbedaan yang jelas dalam jumlah anak laki-laki dan perempuan memilih untuk terus mengambil kursus matematika di bidang pendidikan
pasca-wajib di Inggris. Sebagai contoh pada tahun 2003 / 4, tahun terbaru untuk
yang dikonfirmasi angka yang tersedia, 32.078 anak laki-laki mengadakan pemeriksaan
di tingkat
matematika dibandingkan dengan 19.050 anak perempuan. Untuk anak laki-laki, program
studi matematika yang paling populer, sedangkan anak perempuan program studi matematika peringkat 8. Tingkat subjek yang paling
populer untuk anak perempuan adalah sastra Inggris.
C.
Faktor Kognitif dan Afektif berhubungan dengan Perbedaan Gender pada Pembelajaran
Matematika
Dalam berbagai
penelitian selama dekade terakhir, penelitian telah
bergeser dalam fokus sampai batas tertentu. Beberapa penelitian tidak hanya meneliti perbedaan
prestasi dan partisipasi dalam matematika di berbagai tingkat, tetapi meneliti faktor yang mempengaruhi perbedaan
gender. Faktor yang mempengaruhi diantaranya kondisi mental, pengambilan fakta
matematika, kecemasan dan motivasi. Sejumlah besar
penelitian telah dilakukan menyelidiki kondisi mental perbedaan gender dalam
kemampuan matematika. Penelitian telah menunjukkan ada perbedaan dalam kondisi mental antara anak
laki-laki dan perempuan khususnya
pada materi Geometri dan masalah aritmatika dalam pembelajaran Matematika. Ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan pada penerapan strategi penyelesaian.
Pengambilan fakta matematika juga
telah diidentifikasi sebagai sumber potensial perbedaan dalam kemampuan pemecahan
masalah. Anak-anak dengan fasilitas yang baik dalam menemukan fakta matematika yang dapat dengan cepat mengingat
jawaban atas masalah aritmatika sederhana. Royer, Tronsky, Chan, Jackson dan
Marchant (1999) melakukan penelitian
dimana mereka mampu
menunjukkan bahwa fasilitas dengan pengambilan fakta matematika adalah prediksi yang baik pada kinerja tugas dan
pemecahan masalah itu sendiri yang diprediksikan oleh gender. Mereka menyimpulkan bahwa fasilitas anak laki-laki
lebih besar dalam pengambilan fakta matematika dicatat sebagian besar perbedaan dalam tingkat prestasi anak-anak
dalam tes matematika.
Kecemasan Matematika adalah contoh dari faktor yang mempengaruhi
kinerja afektif dalam matematika. Argumen tentang pengaruh kecemasan terhadap tugas terstruktur misalnya pengambilan fakta matematika.
Kecemasan khusus untuk matematika telah terbukti mempengaruhi kinerja dengan
mengurangi kapasitas memori kerja yang tersedia untuk bekerja pada masalah.
Ashcraft dan Kirk (2001) menunjukkan bahwa kecemasan mempengaruhi kinerja matematika
dengan mengurangi kapasitas memori kerja. Miller dan Bichsel (2004) menunjukkan
kecemasan menjadi faktor yang mempengaruhi kinerja.
Kecemasan Matematika
ini dapat mempengaruhi motivasi,
yaitu motivasi yang semakin meningkat atau sebaliknya motivasi yang menurun
(putus asa). Oleh karena itu kecemasan matematika
kemungkinan menjadi mediator yang kuat perbedaan gender dalam kinerja matematika.
D.
Penggunaan Strategi dalam Perbedaan Gender
Fennema, Carpenter, Jacobs, Franke
& Levi (1998) melakukan studi longitudinal pada siswa tiga tahun pertama di sekolah dasar dan meminta mereka untuk
memecahkan masalah penambahan dan
pengurangan sederhana. Mereka tidak menemukan perbedaan
dalam kemampuan antara anak laki-laki dan anak perempuan, tetapi mereka menemukan
beberapa perbedaan yang mencolok dalam strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah. Anak-anak perempuan
cenderung menggunakan strategi lebih konkret, yang melibatkan pemodelan atau
menghitung, sementara anak laki-laki cenderung menggunakan strategi yang
lebih abstrak, seperti menemukan algoritma. Pada tahun ketiga sekolah
dasar, anak perempuan cenderung menggunakan algoritma umum untuk penambahan dan
pengurangan memecahkan masalah dari pada anak laki-laki. Carr & Jessup (1997) juga menemukan
perbedaan dalam strategi yang digunakan oleh tahun pertama anak-anak sekolah dasar
dan anak perempuan untuk menyelesaikan penambahan dan pengurangan sederhana masalah. Mereka
menemukan bahwa anak perempuan lebih cenderung menggunakan strategi algoritma terbuka seperti
menghitung dengan jari, sementara anak laki-laki lebih mungkin menggunakan pengambilan,
menjawab dari memori. Secara signifikan, anak laki-laki mengembangkan preferensi untuk
pengambilan sebelum mereka dapat menggunakan strategi ini untuk menghasilkan jawaban yang benar. Ini juga sesuai dengan
Royer et al. (1999) disebutkan di atas, yang menemukan anak laki-laki memiliki
fasilitas yang lebih besar dalam pengambilan fakta aritmetik dari usia
muda. Davis
dan Carr (2001) menemukan bahwa pilihan strategi anak laki-laki dan perempuan
yang diferensial diprediksi oleh temperamen, dimana strategi anak laki-laki dipengaruhi
oleh tingkat impulsif dan strategi anak
perempuan dipengaruhi oleh tingkat inhibisi. Berdasarkan hal tersebut ada
banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan melakukan
matematika dengan cara yang berbeda sehingga strategi
yang dilakukan guru juga harus berbeda pula.
Populasi siswa
yang semakin beragam menyebabkan guru untuk membedakan kurikulum dan
pengajaran. Beberapa strategi diferensiasi umum
telah terbukti tidak efektif dari sudut pandang akademis, misalnya, mengajar ekspositori. Untuk mengakomodasi perbedaan individu
pada siswa, guru dapat melakukan pendekatan pembelajaran kooperatif. Kelompok dibentuk untuk mencerminkan heterogenitas siswa di
dalam kelas, menghasilkan hasil yang positif: Siswa memberi dan menerima bantuan
dari teman sebaya. Dalam membentuk kelompok guru harus
mempertimbangkan mempengaruhi sikap siswa serta
karakteristik siswa dalam prestasi belajar. Hal lain yang penting
untuk membuat tentang pengajaran adaptif adalah bahwa guru yang baik selalu
ditujukan siswa sesuai dengan gaya sikap dan bekerja. Untuk setiap tugas yang diberikan, memberikan ketertarikan, tantangan, serta
pengetahuan sebelumnya. Pengajaran yang adaptif juga membutuhkan
seorang guru yang mengetahui kelemahan siswa dan
mengetahui potensi yang dimiliki siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Individual Differences:
Affective and Conative Processes. Artikel diambil dari http://www.answers.com/topic/individual-differences-affective-and-conative-processes.
Adams, John W. Individual differences in mathematical
ability:genetic, cognitive and behavioural factors. Jurnal diambil dari http://www.dur.ac.uk/resources/cdp/japdfmath.pdf.
Jay, Tim M H. Explaining Individual Differences in Strategy Variability Amongst
Secondary School Mathematics Students. Tesis
diambil dari http://etheses.nottingham.ac.uk/424/1/Thesis_-_final_version_-_print_ready.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar