PSIKOLOGI
BELAJAR MATEMATIKA
Berdasarkan hakikat
dari matematika dan matematika sekolah itu sendiri, maka kiranya pembelajaran
matematika yang diharapkan adalah yang mampu mengakomodir karakteristik dari
matematika itu sendiri. Pembelajaran matematika masa kini adalah pembelajaran
yang penyajiannya didasarkan teori pembelajaran yang ada pada saat ini. Karena
proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pada pembangunan
manusia seutuhnya, jadi tidak melalui ‘trial
and error’. Hal ini sejalan dengan salah satu
prinsip penyelenggaraan pendidikan yang
tercantum dalam permen no. 41 tahun 2007, yaitu bahwa pendidikan
diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
Psikologi
belajar / teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual
(mental) siswa, yaitu tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada
intelektual anak, dan tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang
bisa dipikirkan pada usia tertentu. (Suherman, 2001).
Memahami tentang
teori belajar sangatlah penting untuk proses pembelajaran matematika di kelas.
Dengan memahami teori belajar yang ada, guru diharapkan dapat merancang proses
belajar-mengajar yang lebih baik di kelas dengan lebih baik karena sudah berlandaskan
pada teori-teori belajar (learning theory)
sebagai acuannya. (Saddiq, 2008). Secara garis besar, aliran psikologi belajar
terbagi menjadi dua, yaitu aliran psikologi tingkah laku dan aliran psikologi
kognitif.
A. ALIRAN
PSIKOLOGI TINGKAH LAKU
1. Teori
Thorndike
Edward L. Thorndike (1874 – 1949)
mengemukakan beberapa hukum belajar yang disebut Law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila
respon murid terhadap suatu stimulus diikuti dengan rasa senang atau kepuasan.
Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses menentukan
hubungan antara stimulus dan respon. Thorndike mengemukakan bahwa kualitas ddan
kuantitas hasil belajar tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon
(S-R) dalam pelaksanaan kegiatan mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas
(S-R) itu (yang diberikan oleh guru) makin banyak dan makin baik pula hasil
belajarnya siswa.
Implikasi dari aliran ini dalam kegiatan
belajar mengajar sehari-hari adalah :
a.
Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh
yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan
alat peraga.
b.
Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih
cocok. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan
stimulus dan respon yang diberikan pun lebih banyak.
c.
Dalam kurikulum, materi di susun
dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sampai dengan tingkat kelas, dan
tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapt
menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat
harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya.
2. Teori Skinner
Ganjaran
atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam belajar. Ganjaran
adalah respon yang menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya
subjektif, sedangkan penguatan adalah
sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respond dan lebih
mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
Contoh
penguatan positif adalah pujian yang diberikan pada anak dan sikap guru yang
bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan. Untuk mengubah tingkah laku anak
dari negative menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat
digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku
anak. Penguatan akan berkas pada
diri anak. Mereka yang mendapatkan pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas
atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya
dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan
memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya.
Skinner
menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian
tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik
lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Misalnya dengan mengatakan
“bagus, pertahankan prestasimu” untuk siswa yang mendapat nilai tes yang
memuaskan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga
tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negative agar
respons tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya
positif. Penguatan negative ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi
(hukuman deduktif).
3. Teori
Ausebel
Teori belajar Ausebel terkenal
dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai
(apersepsi). Belajar dibedakan menjadi belajar menemukan dan belajar menerima Belajar
menemukan artinya siswa menemukan sendiri konsep, tidak menerima pelajaran
begitu saja. Sedangkan belajar menerima artinya siswa hanya menerima, jadi
siswa tinggal menghafalkannya. Jika belajar menghafal adalah menghafalkan materi yang telah
diperoleh sebelumnya, maka dalam belajar bermakna materi yang telah diperoleh
itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Metode menemukan
dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, sebaliknya
metode ceramah adalah metode yang merupakan belajar menerima. Metode penemuan
maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna,
tergantung dari situasinya.
4. Teori Gagne
Menurut
Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu
objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung : kemampuan
menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap
matematika, dan tahu bagaimana mestinya belajar, sedangkan objek langsung
berupa fakta, keterampilan, konsep dan aturan (prosedur).
1. Fakta adalah objek matematika yang tinggal
menerimanya, seperti lambing bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika
lainnya.
2. Keterampilan : kemampuan memberikan jawaban
dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan cukup dengan bagi
kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah ruas garis.
3. Konsep : ide abstrak yang memungkinkan kita
dapat mengelompokkan objek dalam contoh. Misalnya, konsep bujursangkar,
bilangan prima, himpunan dan vector.
4. Prosedur : aturan-aturan yang digunakan untuk
memperoleh hasil tertentu.
5. Teori
Pavlov
Teori belajar Pavlov terkenal dengan
teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap seekor Anjing. Anjing itu
dikurung, dalam suatu kandang waktu tertentu dan diberi makan. Selanjutnya
setiap akan diberi makan Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap
dibunyikan pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya
(Salivation) meskipun tidak diberi makan. Dari percobaan ini, daging disebut
dengan stimulus yang tidak terkondisikan (unconditioned
stimulus), dan bel disebut stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral
(bel) dipasangkan dengan daging (unconditioned
stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan
berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan
memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respons anjing seperti ketika ia
melihat daging. Proses ini disebut classical conditioning.
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya dengan
kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus
dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan Rumah dengan baik,
bisasakanlah untuk memeriksanya, menjelaskannya, atau member nilai terhadap hasil
pekerjaannya.
Berikut ini beberapa tips yang
ditawarkan oleh Woolfok (19995) yang dikutip dari Burhanuddin (2007) dalam
menggunakan prinsip-prinsip kondisioning klasik di kelas :
1. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika
memberikan tugas-tugas belajar, misalnya :
a. Menekankan pada kerja sama dan kompetisi
antarkelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memilih respons
emosional secara negative terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin
akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain
b. Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan
dengan menciptakan ruang membaca (reading
corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
2. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan
sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya :
a. Mendorong
siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami mata pelajaran.
b. Membuat
tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan
memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang
diperlajari dengan baik.
c. Jika
siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah
laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan
berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di
depan seluruh murid di kelas.
3. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan
persamaan terhadp situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan
mengeneralisasikan secara tepat. Misalnya, dengan :
a. Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi
ujian masuk sebuah sekolah yang lebih tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan
tes-tes prestasi akademik yang pernah mereka lakukan.
b. Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari
hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi
aman dan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orangtua ada.
B. ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF
1. Teori
Piaget
Piaget
merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan teori Konstruktivisme. Menurut Piaget
adalah suatu schemata atau kumpulan skema-skema. Perkembangan schemata ini
berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Proses
terjadinya adaptasi schemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru
dilakukan ini melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
1. Asimilasi, yaitu proses pengintegrasian
stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara langsung.
2. Akomodasi, yaitu proses pengintegrasian
stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal
ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, karena tidak ada
skema yang sesuai yang telah dimiliki.
Piaget
juga mengemumakan teori mengenai perkembangan kognitif tiap individu secara
rinci, dari mulai bayi hingga dewasa yang disusun berdasarkan studi klinis
terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Kesimpulannya
adalah pola berpikir anak tidak sama dengan pola berfikir orang dewasa. Tahap
perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berpikir seseorang sesuai dengan
usianya. Makin Ia dewasa, makin meningkat pula kemampuan berpikirnya. Jadi,
kemampuan anak berbeda dengan kemampuan orang dewasa.
Selain
itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh dukungan dan
transmisi sosialnya. Oleh karena itu agar perkembangan kognitif seorang anak
berjalan maksimal, sebaiknya diperkaya dengan pengalaman edukatif. Berdasarkan
hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan
kognitif dari set iap individu yang berkembang secara kronologis (menurut usia
kalender) :
a. Tahap
sensori motor,
Tahap ini dimulai dari
lahir sampai umur sekitar 2 tahun. Bagi anak yang berada pada tahap ini,
pengalaman diperoleh melalui pengalaman fisik (gerakan anggota tubuh) dan
sensori (koordinasi alat indera).
b. Tahap
Pra Operasi,
Tahap ini
dimulai dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar 7 tahun dan merupakan
tahap persiapan untuk pengoperasian operasi konkrit, yaitu berupa
tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda
menurut urutan tertentu (seriation),
dan membilang (counting). Pada tahap
ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada
pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya
berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.
c. Tahap
Operasi Konkrit
Anak-anak yang berada
pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, yaitu pada usia sekitar 7
tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun. Umumnya anak-anak pada tahap ini
telah memahami operasi logis dengan bantuan benda konkrit. Kemampuan ini terwujud
dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan mengklasifikasi dan serasi, mampu
memandang suatu objek dari sudut pandang yang objektif, dan mampu berpikir
reversible.
d. Tahap Operasi Formal
Tahap operasi formal
merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas, yaitu pada
usia 11 tahun dan sterusnya. Anak pada
tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abstrak. Penggunaan benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak mampu
bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung.
Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan
menggunakan symbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi.
2. Teori Brunner
Jerome S.Bruner seorang ahli
psikologi yang dilahirkan tahun 1915, lulusan dari Universitas Harvard, Amerika
Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi
dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya
pengembangan berfikir.
Jerome Brunner dalam teorinya menyatakan
bahwa belajar matematika akan berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan struktur-struktur terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan,
di samping hubungan yang terkait dengan konsep-konsep dan struktur-struktur.
Berdasarkan
hasil penelitiannya, Brunner mengidentifikasi tiga tahap perkembangan yang
dilewati anak dalam belajar, yaitu :
a. Tahap enaktif (enactive stage)
Dalam tahap ini anak secara
langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek, seperti memegang,
memindah, menyusun dan menyentuh untuk memahami lingkungan mereka.
b. Tahap ikonik (iconic stage)
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan
anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran-gambaran dari objek
yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang
dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
c. Tahap simbolik (symbolic stage)
Dalam tahap ini anak memanipulasi
symbol-simbol atau lambing-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu
menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Berdasarkan
pengamatan ke sekolah-sekolah, Bruner memperoleh beberapa kesimpulan yang
melahirkan dalil-dalil, yaitu dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorm), dalil kekontrasan dan dalil keanekaragaman (contras and variation theorm), dan dalil
pengaitan (connectivity theorm)
a. Dalil penyusunan (construction theorem)
Dalil ini
menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai kemampuan dalam hal menguasai
konsep, definisi, teorema, dan sebagainya, anak harus dilatih untuk melakukan
penyusunan representasinya. Untuk melekatkan idea tau definisi tertentu dalm
pikiran, anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya
sendiri.
Anak
juga akan lebih mudah mengingat ide-ide apabila dalam proses perumusan dan
penyusunan ide-ide tersebut anak disertai bantuan benda-benda konkrit. Siswa
akan lebih mudah menerapkan ide dalam situasi riil secara tepat. Dalam tahap
ini anak memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda
yang dimanipulasinya. Pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep
diperlukan aktivitas-aktivitas yang mengantar anak kepada pengertian konsep.
Salah
satu contohnya ketika anak memperlajari konsep perkalian 3 x 5. Anak yang
mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang
akan lebih memahami konsep tersebut. Perkalian 3 x 5 berarti pada garis
bilangan meloncat 3x loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut
diperiksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangu hasil percobaan seperti ini,
anak akan benar-benar memahami dengan pengertian dalam, bahwa perkalian pada
dasarnya merupakan penjumlahan berulang.
b. Dalil Notasi
Dalil
notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan
penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus
sesuai dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berarti untuk menyatakan sebuah
rumus maka notasinya harus difahami oleh anak, tidak rumit dan mudah
dimengerti.
Sebagai
contoh notasi untuk menyatakan fungsi
: f(x) = 3x – 2 kita menggunakan
notasi
. Bagi anak yang mempelajari konsep
fungsi lebih lanjut, diberikan notasi fungsi
.
Notasi
yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling mudah
sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan
pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika disajikan
secara sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap
awal notasi ini sederhana, diikuti notasi berikutnya yang lebih kompleks.
Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenali oleh anak sebeluimnya,
umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dan diperlukan dalam
pengembangan konsep matematika lanjutan.
c. Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam
dalil ini dinyatakan bahwa pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting
dalam melakukan pengubahan konsep difahami dengan mendalam, diperlukan
contoh-contoh yang banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep
tersebut. Anak-anak perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang
diberikan.
Konsep yang
diterangkan dengan contoh (examples)
dan bukan contoh (nonexamples) adalah
salah satu cara pengkontrasan. Melalui cara ini anak akan mudah memahami arti
karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan
pengertian persegi panjang, anak harus diberi contoh bujursangkar, belah
ketupat, jajar genjang dan segi empat lainnya selain persegi panjang.
Sedangkan
keanekaragaman akan membantu anak dalam memahami konsep yang disajikan, karena
dapat memberikan belajar bermakna pada anak. Misalnya, untuk menjelaskan
pengertian bilangan prima anak perlu diberi contoh yang banyak yan sifatnya
beranekaragam.
d. Dalil pengaitan (konektivitas)
Dalam
dalil ini dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan lainnya
terdapat hubungan yang erat, tidak hanya dari segi isi, tetapi juga dari segi
rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang
lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep
lainnya. Misalnya konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel
phytagoras atau pembuktian rumus kuadrat trigonometri.
Guru
perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan
dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang
digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal
lainnya. Melalui cara ini anak akan mengetahui pentingnya konsep yang sedang
dipelajari dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang sedang
dipelajarinya itu dalam matematika, karena antara sebuah bahasan dengan bahasan
matematika saling berkaitan
3. Teori Gestalt
Berbeda
dengan teori-teori sebelumnya yang menganggap bahwa belajar sebagai proses
trial and error, teori Gestalt memandang belajar adalah proses yang didasarkan
pada pemahaman (insight). (Baharudin,
2009). Dalam pelajaran guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu
saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap terbentuknya konsep
tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini, guru bertindak sebagai pembimbing
dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui metode induktif.
Beberapa
prinsip belajar penting yang dilahirkan dari Teori Gestalt adalah :
a.
Manusia bereaksi dengan
lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga
secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya
b.
Belajar adalah penyesuaian diri
dengan lingkungan.
c.
Manusia berkembang sebagai
keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala
aspek-aspeknya.
d.
Belajar adalah perkembangan kearah
diferensiasi ynag lebih luas.
e.
Belajar hanya berhasil, apabila
tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
f.
Tidak mungkin ada belajar tanpa ada
kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang mengerakan seluruh
organisme.
g.
Belajar akan berhasil kalau ada
tujuan.
h.
Belajar merupakan suatu proses bila
seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.
4. Teori Van Hiele
Teori
belajar Van Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam
geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu
waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ditata
secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan
berfikir yang lebih tinggi.
Van
Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap
analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan tahap akurasi.
a. Tahap pengenalan (visualisasi)
Dalam
tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan,
dan belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang
dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh
kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang
merupakan bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya ada 12 buah dan
lain-lain.
b. Tahap analisis
Dalam
tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri
yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada
benda geometri itu. Misalnya, di saat ia
mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi
saling berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap
ini anak belum mampu mengetahui hubungan terkait antara suatu benda geometri
dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa
bujursangkar adalah persegi panjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat
dan sebagainya.
c. Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mampu melaksanakan
penarikan kesimpulan yang dikenal dengan pemikiran deduktif. Namun kemampuan
ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu
mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah
jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah laying-layang. Pola pikir anak pada
tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang
itu sama panjang.
d. Tahap deduksi
Dalam
tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifatr
khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsure-unsur
yang tidak didefinisikan, disamping unsure-unsur yang didefinisikan. Misalnya
anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai
mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan untuk pembuktian.
e. Tahap akurasi
Dalam
tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui
pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. (Suherman,
2001)
5. Teori
Vygotsky
Menurut
Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting.
Pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai dasar. Kedua, proses
secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esesnsinya berkaitan dengan
lingkungan social budaya. Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi
social bagi perkembangan belajar seseorang. Pentingnya interaksi social dalam
perkembangan kognitif telah melahirkan konsep perkembangan kognitif.
Perkembangan kognitif manusia ini berkaitan erat dengan perkembangan bahasanya.
(Baharuddin, 2009)
Vygotsky
percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone
proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia
melakukan perilaku social. Zone ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak
yang tidak dapat melakukan segala sesuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan
kelompok atau orang dewasa. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami
pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan
kelompoknya atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone
proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan
lingkungan social. (Baharuddin, 2009)
Implikasi
teori belajar ini dalam pengajaran adalah meyakinkan bahwa pengajaran secara
konstan dapat mendorong siswa dalam perkembangan kognitif mereka. Siswa-siswa
memerlukan dukungan dari guru dan teman sejawatnya. Pengetahuan yang siswa
peroleh melalui interaksi social dengan guru dan teman sejawatnya menjadi
pengetahuan individu mereka. Siswa-siswa didorong untuk menggunakan bahasa
mereka untuk mengorganisir pemikiran mereka dan menceritakan apa yang mereka
lakukan. (Marsh, 1996)
DAFTAR
PUSTAKA
Baharuddin,
dkk. (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jogjakarta : Ar-ruz Media.
Marsh,
Collin. (1996). Handbook for Beginning
Teachers. Sydney : Longman Australia.
Shadiq,
Fajar. (2008). Psikologi Pembelajaran
Matematika di SMA. Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Tenaga
Pendidik dan Kependidikan Matematika (P4TKM).
Skemp,
Richard R. (1971). The Psychology of
Learning Mathematics. Victoria : Penguin Books.
Suherman,
Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung JICA – Universitas Pendidikan Indonesia.
Utomo,
Pristiadi. (2010). Piaget dan Teorinya.
Diakses pada tanggal 7 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar