METAKOGNITIF
A.
Pendahuluan
Faktor kesuksesan
seorang anak di masa depan ditentukan oleh bagaimana perkembangan seluruh aspek
dirinya, yaitu perkembangan fisik, kognitif/intelektual, emosi, dan spiritual
yang berkembang secara optimal. Walaupun secara garis beras garis hidup manusia
ditentukan oleh kedua faktor, yaitu faktor hereditas dan lingkungan tetapi akan
lebih mudah untuk berkonsentrasi kepada faktor lingkungan karena secara
langsung memiliki konseksuensi parktis pada pola pengasuhan dan pendidikan anak.
Sementara, faktor hereditas cukup untuk kajian awal tentang potensi dasar seseorang
dan untuk menelusuri berbagai faktor hereditas yang negatif. Pengaruh Faktor
hereditas pada manusia berhenti sesaat setelah peristiwa konsepsi terjadi.
Setelah itu, faktor lingkunganlah yang secara dominan dan aktual mempengaruhi
seluruh aspek kemanusiaa. Faktor hereditas hanya memberi modal dasar saja.
Berbagai penelitian
menyatakan bahwa perkembangan manusia sudah dimulai pada masa prenatal tidak
hanya aspek fisik tetapi aspek-aspek lainnya seperti kognitif, emosi, dan
bahkan spiritual. Hal ini tentunya dalam batasan-batasan tertentu sesuai dengan
kondisi janin atau dapat dikatakan sebagai pembentukan karakter dasar. Seperti
emosi janin dan setelah besar nanti ternyata dipengaruhi oleh kondisi emosi
sang ibu. Perkembangan ini akan terus berlanjut sampai lahir dan besar nanti
yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa pola pengasuhan dan pendidikan.
Sementara perkembangan
kognitif dianggap sebagai penentu kecerdasan intelektual anak, kemampuan
kognitif terus berkembang seiring dengan proses pendidikan serta juga
dipengaruhi oleh faktor perkembangan fisik terutama otak secara biologis.
Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan kognitif adalah bagaimana mengelola
atau mengatur kemampuan kognitif tersebut dalam merespon situasi atau
permasalahan. Tentunya, aspek-aspek kognitif tidak dapat berjalan sendiri
secara terpisah tetapi perlu dikendalikan atau diatur sehingga jika seseorang
akan menggunakan kemampuan kognitifnya maka perlu kemampuan untuk menentukan
dan pengatur aktivitas kognitif apa yang akan digunakan. Oleh karena itu,
sesorang harus memiliki kesadaran tentang kemampuan berpikirnya sendiri serta
mampu untuk mengaturnya. Para ahli mengatakan kemampuan ini disebut dengan
metakognitif.
Saat ini, kajian
tentang metakognitif telah berkembang bahkan telah diterapkan dalam
pembelajaran seperti matamatika dan bahasa. Misalnya, dalam memecahkan masalah
matematika, siswa perlu memiliki kemampuan metakognitif untuk mengatur strategi
pemecahan masalah, sedangkan dalam pembelajaran bahasa adalah siswa harus
memiliki kemampuan metakognitif dalam membaca buku.
B.
Pengertian Kemampuan
Metakognitif
Metakognisi berarti
apa yang kita ketahui tentang apa yang diketahui menurut Halpern dalam Setyono
(2008). Metakognisi merupakan refleksi terhadap pikiran, berfikir terhadap
pikirannya sendiri menurut Janssens & de Klein dalam Setyono (2008).
Menurut Flavell dalam Setyono (2008), disebut metakognisi karena makna intinya
adalah “cognition about cognition” atau berfikir terhadap proses berfikirnya
sendiri. Metakognisi mencakup pengetahuan dan aktivitas kognitif yang
menjadikan aktivitas kognitif itu sebagai objeknya. Metakognisi berarti
pengetahuan seseorang tentang proses kognitif dirinya sendiri dan hal-hal yang
berhubungan dengannya, seperti pengetahuan tentang informasi dan data yang
relevan. Flavell mengemukakan konsep tentang kemampuan metakognitif sebagai
pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman metakognitif
(metacognitive experience).
Menurut Suherman
et.al. (2001 : 95), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa
yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia
mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan
dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan
untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol
secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan
tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan
senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya
mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah
ini?”.
Flavel dalam Dindin
[…] memberikan definisi metakognitif sebagai kesadaran seseorang tentang
bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran sesuatu masalah,
kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan menggunakan
berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai kemajuan
belajar sendiri. Sementara menurut Margaret W. Matlin dalam Dindin […],
metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes – or
our thought about thinking”.
Jadi metakognitif
adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita
bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama
untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah.
Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about
thingking”.
Pengetahuan
metakognitif merupakan pengetahuan dan keyakinan yang terhimpun melalui
pengalaman kognitif seseorang dan tersimpan dalam memori jangka panjangnya.
Pengetahuan metakognitif dapat bersifat deklaratif, yaitu seseorang mengetahui
bahwa (knowing that) atau bersifat prosedural, yaitu seseorang mengetahui
bagaimana (knowing how), atau kedua-duanya. Pengetahuan metakognitif seseorang
dapat dibagi menjadi pengetahuannya tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi.
Kategori pribadi meliputi pengetahuan dan keyakinan yang berkaitan dengan
seperti apa seseorang itu.
Pengalaman
metakognitif merupakan pengalaman kognitif dan afektif yang berkenaan dengan
usaha kognitif. Sebagai contoh, siswa yang kemudian menyadari bahwa ia tidak
memahami soal cerita yang telah dibacanya dapat memacu beberapa tindakan
adaptif seperti membaca kembali, berfikir ulang tentang apa yang berhasil
dipahaminya, atau meminta penjelasan pada orang lain. Pengalaman metakognitif
turut memberikan kontribusi informasi tentang pribadi, tugas-tugas dan strategi
pada pengetahuan metakognitif seseorang. Terlihat bahwa pengetahuan
metakognitif, pengalaman metakognitif dan perilaku kognitif secara konstan
saling menginformasikan dan saling memunculkan selama pengerjaan suatu tugas
kognitif.
Berikut ini adalah beberapa manfaat
dari keterampilan metakognitif yang dikemukakan oleh para ahli Corebima dalam Anathime (2009):
1. Eggen dan
Kauchak (1996) menyatakan bahwa pengembangan kecakapan metakognitif pada para
siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat
membantu mereka menjadi self-regulated learners. Self-regulated learners bertanggung
jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya
mencapai tuntutan tugas.
2. Menurut Marzano
(1988), manfaat metakognisi (strategi) bagi guru dan siswa adalah menekankan
monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri merupakan kecakapan
berpikir tinggi).
3. Susantini, dkk.
(2001) menyatakan melalui metakognisi siswa mampu menjadi pebelajar mandiri,
menumbuhkan sikap jujur dan berani melakukan kesalahan dan akan meningkatkan
hasil belajar secara nyata.
4. Howard (2004)
menyatakan bahwa keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting
pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention),
ingatan (memory), dan pemecahan masalah; sejumlah peneliti yakin bahwa
penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab
ketidakmampuan belajar.
5. Peters (2000)
berpendapat bahwa keterampilan metakognitif memungkinkan para siswa berkembang
sebagai pebelajar mandiri, karena mendorong mereka menjadi manajer atas dirinya
sendiri serta menjadi penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri.
Berdasarkan manfaat yang telah
dikemukakan, maka pemberdayaan keterampilan metakognitif sangatlah penting
dalam pembelajaran. Dengan memiliki keterampilan metakognitif, siswa akan mampu
untuk menyelesaikan tugas belajarnya dengan baik karena mereka mampu untuk
merencanakan pembelajaran, mengatur diri, dan mengevaluasi pembelajarannya.
Livingston dalam Anathime (2009) membagi pengetahuan metakognitif
menjadi 3 kategori, yaitu pengetahuan tentang variabel-variabel personal,
variabel-variabel tugas, dan variabel-variabel strategi. Pengetahuan tentang
variabel-variabel personal berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana siswa
belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar
yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang siswa sadar bahwa proses belajar
lebih produktif jika dilakukan di perpustakaan dari pada di rumah. Pengetahuan
tentang variabel-variabel tugas melibatkan pengetahuan tentang sifat tugas dan
jenis pemrosesan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas itu. Sebagai
contoh, siswa sadar bahwa membaca dan memahami teks ilmu pengetahuan memerlukan
lebih banyak waktu dari pada membaca dan memahami sebuah novel. Pengetahuan
tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan tentang
strategi-strategi kognitif dan metakognitif serta pengetahuan kondisional
tentang kapan dan di mana strategi-strategi tersebut digunakan.
Keterampilan kognitif dan metakognitif,
sekalipun berhubungan tetapi berbeda; keterampilan kognitif dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas, sedangkan keterampilan metakognitif diperlukan untuk
memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Anathime 2009).
Indikator-indikator keterampilan
metakognitif yang akan dikembangkan yaitu: (1) mengidentifikasi tugas yang
sedang dikerjakan, (2) mengawasi kemajuan pekerjaannya, (3) mengevaluasi
kemajuan, dan (4) memprediksi hasil yang akan diperoleh. Selanjutnya
proses-proses yang diarahkan pada pengaturan proses berpikir juga akan membantu
(1) mengalokasikan sumber daya-sumber daya yang dimiliki untuk mengerjakan
tugas, (2) menentukan langkah-langkah penyelesaian tugas, dan (3) menentukan
intensitas, atau (4) kecepatan dalam menyelesaikan tugas. Indikator-indikator
keterampilan metakognitif tersebut dituangkan dalam inventori keterampilan
metakognitif (Anathime, 2009). Menurut Blakey dan Spence
(2000) dalam Anathime (2009), strategi untuk mengembangkan
keterampilan metakognitif adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui”
dan “apa yang tidak kamu ketahui”
2. Membahas tentang berpikir
3. Membuat jurnal merencanakan dan pengaturan
diri
4. Menjelaskan tentang proses berpikir dan
evaluasi
C.
Perkembangan Metakognitif Anak
Menurut Desmita dalam
Dindin […], pada umumnya teori-teori tentang kemampuan metakogntif mendapat
inspirasi dari penelitian J.H Plavel mengenai pengetahuan metakognitif dan
penelitian A.L. Brown mengenai metakognitif atau pengontrolan pengeturan diri (self-regulation)
selama pemecahan masalah.
Desmita dalam Dindin […]
dinyatakan bahwa penelitian Flavel tentang metakognitif lebih difokuskan pada
anak-anak. Flavel menunjukkan bahwa anak-anak yang masih kecil telah menyadari
adanya pikiran, memiliki keterkaitan dengan dunia fisik, terpisah dari dunia
fisik, dapat menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa secara akurat
atau tidak akurat, dan secara aktif menginterpretasi tentang realitas dan emosi
yang dialami. Anak-anak usia 3 tahun telah mampu memahami bahwa pikiran adalah
peristiwa mental internal yang menyenangkan, yang referensial (merujuk pada
peristiwa-peristiwa nyata atau khayalan), dan yang unik bagi manusia. Mereka
juga dapat membedakan pikiran dengan pengetahuan.
Dari beberapa
penelitian lain terungkap bahwa anak-anak yang masih kecil usia 2 – 2,5 tahun
telah mengerti bahwa untuk menyembunyikan sebuah objek dari orang lain mereka
harus menggunakan taktik penipuan, seperti berbohong atau menghilangkan jejak
mereka sendiri (Hala et.al., dalam Dindin ). Sementara Wellman dan Gelman dalam
Dindin […] menunjukkan bahwa pemahaman anak tentang pikiran manusia tumbuh
secara ekstensif sejak tahun-tahun pertama kehidupannya. Kemudian pada usia 3
tahun anak menunjukkan suatu pemahaman bahwa kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan
internal dari seseorang berkaitan dengan tindakan-tindakan orang tersebut.
Secara lebih rinci Wellman menunjukkan kemajuan pikiran anak usia 3 tahun dalam
empat tipe pemahaman yang menjadi dasar bagi pikiran teoritis mereka, yaitu :
(1) memahami bahwa pikiran terpisah dari objek-objek lain; (2) memahami bahwa
pikiran menghasilkan keinginan dan kepercayaan; (3) memahami tentang bagaimana
tipe-tpe keadaan mental yang berbeda-beda berhubungan; dan (4) memahami bahwa
pikiran digunakan untuk menggambarkan realitas eksternal.
Berdasarkan hal ini,
berarti kemampuan metakognitif telah berkembang sejak masa anak-anak awal dan
terus berlanjut sampai usia sekolah dasar dan seterusnya mencapai bentuknya
yang lebih mapan. Pada usia sekolah dasar seiring dengan tuntutan kemampuan
kognitif yang harus dikuasai oleh anak/siswa, mereka dituntut pula untuk dapat
menggunakan dan mengatur kognitif mereka. Metakognitif banyak digunakan dalam
situasi pembelajaran, seperti dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
matematika, membaca buku, serta dalam melakukan kegiatan drama atau bermain
peran.
Kemampuan metakognitf
anak tidak muncul dengan sendirinya, tetapi memerlukan latihan sehingga menjadi
kebiasaan. Suherman (2001:96) menyatakan bahwa perkembangan metakognitif dapat
diupayakan melalui cara dimana anak dituntut untuk mengobservasi tentang apa
yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang apa yang dia
obeservasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru atau pendidik (termasuk
orang tua) untuk mengembangkan kemampuan metakognitif baik melalui pembelajaran
ataupuan mengembangkan kebiasaan di rumah.
D.
Peran Metakognitif Dalam Pembelajaran
1.
Peran Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika
Lester dalam Dindin
[…] mengungkapkan bahwa salah satu kajian yang menarik dalam topik pemecahan
masalah adalah peran metakognitif dalam pemecahan masalah. Goos et.al. (2000)
melakukan penelitian tentang peran metakognitif bagi siswa dalam kegiatan
memecahkan masalah matematika. Mereka melakukan investigasi terhadap strategi
siswa metakognitif siswa sekolah menengah ketika mereka memecahkan masalah
matematika secara individu. Siswa-siswa diberikan soal matematikan dan mereka
kemudian menyelesaikannya secara individu. Setelah siswa menyelesaikan soal
tersebut, kemudian diberikan angket sebagai instrumen untuk mengetahui
aktivitas metakognitif siswa.
Untuk mengetahui
aktivitas metakognitif siswa digunakan instrumen monitoring diri metakognisi
yang memuat pernyataan-pernyataan metakognitif. Misalnya, saya yakin bahwa saya
memahami masalah yang ditanyakan pada saya; saya mencoba menyajikan masalah
dengan bahasa saya sendiri; saya mencoba untuk mengingat jika saya pernah
menyelesaikan masalah yang mirip dengan masalah seperti ini; saya
mengidentifikasi dan memeriksa setiap informasi yang terdapat dalam masalah
ini; serta saya berpikir tentang pendekatan yang berbeda yang akan saya coba
untuk mecahkan masalah ini. Siswa diminta untuk menyatakan “ya”, “tidak” atau
“mungkin”.
Penelitian ini didasarkan pada
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
strategi yang digunakan siswa dalam memecahkan soal tidak rutin ?
2.
Bagaiamana
siswa dapat mengatasi kesulitan dalam memecahkan masalah sehingga dapat
menyelesaiakan pekerjaannya ?
3.
Bagaiamana
hubungan antara monitoring diri metakognisi dengan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika ?
Dari penelitian itu
disimpulkan bahwa siswa yang menggunakan strategi metakognitifnya dengan baik
ketika menyelesaikan soal matematika (pemecahan masalah) memiliki kemampuan
lebih dalam menyelesaikan soal matematika. Siswa tersebut berusaha untuk
menggunakan metakognitifnya untuk mengatur langkah-langkah berpikir dalam
menyelsaikan soal matematika.
2.
Pembelajaran
Strategi Metakognitif
Strategi Metakognitif
berkaitan dengan cara untuk meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir dan
pembelajaran yang berlangsung. Apabila kesadaran itu ada, seseorang dapat
mengontrol pikirannya.
Siswa dapat
menggunakan strategi metakognitif dalam pembelajaran meliputi tiga tahap
berikuti, yaitu : merancang apa yang hendak dipelajari; memantau
perkembangan diri dalam belajar; dan menilai apa yang dipelajari.
Strategi metakognitif dapat digunakan untuk setiap pembelajaran bidang studi
apapun. Hal ini penting untuk mengarahkan siswa agar bisa secara sadar
mengontrol proses berpikir dan pembelajaran yang dilakukan siswa.
Dengan menggunakan
strategi metakognitif, siswa akan mampu mengontrol kelemahan diri dalam belajar
dan kemudian memperbaiki kelemahan tersebut ; siswa dapat menentukan cara
belajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya sendiri ; siswa dapat
menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar baik yang berkaitan dengan
soal-soal yang diberikan oleh guru atau masalah-masalah yang timbul berkaitan
dengan proses pembelajaran; dan siswa dapat memahami sejauhmana keberhasilan
yang telah ia capai dalam belajar.
Strategi metakognitif
dapat juga diajarkan kepada siswa untuk digunakan dalam memecahkan masalah
dalam bentuk soal-soal matematika. Strategi metakognitif dapat digunakan siswa
dalam proses pemecahan masalah, yaitu : memahami masalah, merencanakan strategi
pemecahan, menggunakan/ menarapkan strategi yang telah direncanakan dan menilai
hasil pekerjaan. Pembelajaran strategi metakognitif dapat dilakukan secara
infusi dalam proses pembelajaran sehingga strategi metakognitif tidak menjadi
materi khusus yang diajarkan. Guru dapat meingkatkan kemampuan strategi
metakognitif dalam pembelajaran. Beberapa kemampuan strategi metakognitif siswa
yang dapat dibiasakan berdasarkan modul yang dibuat oleh Pusat Perkembangan
Kurikulum Malaysia (Dindin), yaitu :
1.
merancang/mempersiapkan
kegiatan belajar sendiri;
2.
bertanya
pada diri sendiri misalnya sebelum, ketika dan setelah membaca buku;
3.
berfikir
terlebih dahulu secara sadar sebelum melakukan sesuatu;
4.
menilai
dua jenis kegiatan untuk menentukan mana yang terbaik;
5.
mengetahui
tingkah laku yang terbaik karena melalui pujian guru atau temannya;
6.
menghindari
mengatakan “saya tidak bisa”;
7.
menggunakan
strategi metakognitif dalam belajar dengan bantuan guru melalui pengarahan
dalam bentuk pertanyaan seperti “apa yang ingin Anda katakan adalah ...” ;
8.
siswa
semangat dalam belajar dan dalam melakukan suatu kegiatan melalui pujian guru;
9.
berbicara
dengan baik dan benar dimana guru menjelaskan tentang pernyataan mana yang
benar atau yang salah serta bagaimana implikasinya;
10.
bermain
peran dalam belajar untuk melatih siswa berfikir dan berindak sesuai dengan
perannya;
11.
mencatat
jurnal tentang kegatan sendiri; dan
12.
berprilaku
yang baik dan bertindak benar melalui teladan dari guru.
Ketika menjadi guru
dan memberi les seorang siswa SMP yang sangat cerdas, penulis mendengar dua
kalimat yang diucapkan siswa tersebut pada waktu les, yaitu:
1. ”Wah
ini bagian yang sering membuat saya keliru.” Kalimat ini ia ucapkan ketika ia
sampai pada proses hitung menghitung.
2. ”Wah
langkah ini sepertinya tidak akan menghasilkan jawaban soal ini.
3. Pekerjaan
ini sepertinya akan mengarah ke jalan buntu. Saya harus mencari jalan lain.”
Seorang siswa dapat
memiliki pengetahuan tentang sudut, teorema Phytagoras, dan ia dapat juga memiliki
pengetahuan tentang kemampuan berpikirnya sendiri. Pengetahuan tentang sudut
dan teorema Phytagoras bukanlah metakognitif. Namun pengetahuan tentang
kemampuan berpikir diri siswa itu sendiri itulah yang merupakan hasil dari
proses metakognitif.
Pada contoh di atas,
ada dua hal berbeda yang sangat erat kaitannya yang sesuai dengan pendapat
Garofalo dan Lester berkait dalam Shadiq […] dengan pengertian metakognitif,
yaitu:
1. Pengetahuan
dan keyakinan mengenai fenomena kognitif diri mereka sendiri, seperti pada
contoh 1 di atas.
2. Pengaturan
dan kontrol terhadap tindakan kognitif diri mereka sendiri, seperti pada contoh
2 di atas.
Berdasarkan definisi
di atas, dapat dikemukakan beberapa contoh metakognitif lainnya berikut ini:
1. “Saya
terlalu lambat belajar, baru setengah bagian yang saya kuasai.”
2. “Kemungkinan
besar saya telah keliru menggunakan cara ini. Hasilnya tidak menjadi semakin
sedehana. Saya harus mencoba cara lain.”
3. “Untuk
memecahkan soal seperti ini, saya harus membuat gambar corat-coret untuk
membantu kemampuan mengingat yang sangat terbatas pada otak saya ini.”
4. “Sudah
tiga kali saya tergesa-gesa menarik kesimpulan yang telah menyebabkan hasilnya salah.
Saya harus mencoba menggunakan bilangan negatif untuk meyakinkan diri saya
sendiri bahwa kesimpulan ini benar adanya.”
5. “Bahan
ini nampaknya sangat sulit. Sudah 45 menit saya belajar namun belum ada satu bagianpun
yang saya kuasai. Saya harus lebih berkonsentrasi.”
6. “Untuk
menguasai topik ini dengan baik, dibutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam
karena banyak hal yang harus diperhatikan.”
7. “Saya
harus lebih berhati-hati di saat mengalikan dua bilangan seperti 234 × 453 ini karena
saya sudah pernah salah dua kali. Kalau tidak hati-hati, saya akan mendapat
nilai jelek pada saat ulangan sekarang ini.”
E.
Peran Penting Guru Matematika
Sekali lagi, setiap
siswa, siapapun dia akan memiliki kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Sudah
diceritakan di bagian depan tentang siswa yang berhasil menemukan atau
mendapatkan pengetahuan tentang kelemahan dirinya. Dengan pengetahuan tersebut
ia dapat mengontrol dirinya sendiri agar lebih berhati-hati. Namun di kelas
yang kita didik, tidak semua siswa berlaku seperti itu. Ada siswa yang tidak
atau belum mengetahui keterbatasan otaknya sehingga ia tidak perlu mengontrol
dirinya sendiri agar lebih berhasil mempelajari matematika.
Pada intinya, siswa
yang memiliki pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri akan
dapat mengendalikan atau mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu
yang menguntungkan ataupun tidak melakukan sesuatu yang merugikan dirinya.
Kesimpulannya, siswa yang memiliki pengetahuan metakognitif akan jauh lebih
berhasil dalam mempelajari matematika daripada siswa yang tidak memilikinya.
Di setiap kelas, akan
ada siswa yang cerdas dan tidak sedikit pula yang biasa-biasa saja. Tentunya,
akan ada siswa yang belum menyadari kekurangan dirinya. Karena itu, salah satu
tugas seorang guru adalah membantu setiap siswanya, agar mereka mengetahui dan
mensyukuri kelebihan dirinya. Tidak hanya itu, tugas lainnya adalah membantu
siswanya untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga ia dapat
mengendalikan dirinya sendiri, dalam arti ia dapat meminimalkan kekurangannya
tersebut.
Untuk membantu
menyadarkan siswanya, para guru dapat menggunakan pertanyaan, seperti:
1. “Selama
proses pembelajaran di kelas, kamu dapat menyelesaikan soal dengan baik, tetapi
waktu ulangan mendapat nilai 4. Coba pikir baik-baik, mengapa hal ini bisa
terjadi? Apakah kamu tidak belajar di rumah?”
2. “Mengapa
pekerjaanmu untuk soal nomor 3 ini salah?”
3. “Di
bagian mana dari topik ini yang belum kamu kuasai dengan baik?”
4. “Dapatkah
kamu mengerjakan soal ini tanpa melihat catatan?”
5. “Kamu
menyatakan bahwa kamu kurang teliti. Bapak setuju. Apa yang harus kamu lakukan
ketika ulangan atau ketika mengerjakan soal agar hal itu tidak mempengaruhi
nilai kamu?”
Sebagai rangkuman, apa
yang dipaparkan di atas menunjukkan pentingnya para siswa mengetahui atau
menyadari kekurangan maupun kelebihan diri mereka sendiri, agar para siswa yang
memiliki pengetahuan tersebut akan dapat mengontrol dirinya sendiri untuk
melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Dengan cara seperti itu, diharapkan
para siswa akan lebih berhasil mempelajari matematika. Peran penting metakognitif
telah dinyatakan secara gamblang oleh Garofalo dan Lester (JRME) dengan
menyatakan: “There is also growing support for the view that purely
cognitive analyses of mathematical performance are inadequate because they
overlook metacognitive actions.” Hal ini menunjukkan bahwa unjuk kerja (performance)
seorang siswa dengan hanya melihat pada aspek kognitifnya saja, dan dengan
mengacuhkan aspek metakognitifnya adalah belum cukup. Diperlukan kepaduan
analisis, baik kognitif maupun metakognitif yang berkait dengan unjuk kerja
seseorang. Pada akhirnya, merupakan tugas mulia seorang guru matematika untuk
membantu siswanya sehingga mereka memiliki pengetahuan metakognitif yang lebih
lengkap sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalamannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anathime.
2009. Keterampilan
Metakognitif
. [online]. Tersedia: http://biologyeducationresearch.blogspot.com/2009/12/keterampilan-metakognitif.html [24 April
2011]
Dindin.[…]. Perkembangan Metakognitif Dan Pengaruhnya Pada
Kemampuan Belajar Anak. [online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/KD...MUIZ.../Perkembangan_Metakognitif.pdf. [22 April 2011].
Suherman dkk .(2001). Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan Matematika UPI.
Bandung.
Setyono. (2008). Metakognitif dalam
Pemecahan Masalah. [online]. Tersedia: http://setyono.blogspot.com/2008/12/metakognitif-dalam-pemecahan-masalah.html. [22 April 2011].
Shadiq.[…]. Bagaimana Cara Guru Matematika Meningkatkan
Kecakapan Mengenal Diri Sendiri Para Siswa?. [online]. Tersedia : http://fadjarp3g.files.wordpress.com/.../ok-kecakapandirisendiri_limas_.pdf. [ 22 April 2011]
Jonassen. (2000). Toward
a Design Theory of Problem Solving To Appear in Educational Technologi :
Research and Depelopement. [online] Tersedia: http://www.coe.missouri.edu/~jonassen/PSPaper%20
final.pdf. [22 April 2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar