SIKAP SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA



A.      Pendahuluan
Keberhasilan pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut meliputi faktor yang berasal dari diri siswa, faktor lingkungan siswa, faktor materi, dan faktor guru. Salah satu faktor yang memegang peranan penting adalah faktor yang berasal dari diri siswa yang biasa disebut karakteristik siswa. Karakteristik siswa dalam pembelajaran meliputi: motivasi, sikap, minat, bakat, tingkat kecerdasan, dll. Setiap faktor karakteristik siswa mempunyai peranan masing-masing dan saling berhubungan yang kemudian menjadi salah satu penentu prestasi belajar siswa.
Sikap siswa terhadap matematika merupakan salah satu bagian dalam karakteristik siswa yang tidak dapat diabaikan dalam pembelajaran matematika. Secara teoritis sikap siswa terhadap matematika dapat mempengaruhi prestasi belajar matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Borasi dan Shoenfeld dalam Ponte, dkk (http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1440&bih=736&q=attitude+in+mathematics+teaching+and+learning&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=1853621f595215f6) yang menyatakan bahwa konsepsi, sikap, dan harapan siswa tentang matematika dan mengajar matematika dianggap sebagai faktor yang mendasari pengalaman sekolah dan prestasi. Selain itu, menurut Durgn dan Thurlow dalam Relich, dkk (http:// www.merga.net.au/documents/MERJ_6_1_RelichWay%26Martin.pdf) menyatakan bahwa sikap dapat meningkatkan prestasi matematika baik di tingkat dasar, menengah, maupun tingkat tinggi.. Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa sikap siswa terhadap matematika mempengaruhi pembelajaran dan ketekunan siswa (Leder dalam Relich, http://www.merga.net.au/documents/MERJ_6_1_RelichWay%26Martin. pdf).

B.       Pengertian Sikap
Yara (2009: 364) mengartikan sikap sebagai konsep yang memperhatikan cara seorang individu berpikir, bertindak, dan bertingkah laku. Sikap mempunyai pengaruh yang serius untuk siswa, guru, kelompok sosial yang berhubungan dengan individu siswa dan seluruh sistem di sekolah. Sikap dibentuk sebagai hasil dari beberapa pengalaman belajar. Sikap juga dapat dibentuk secara sederhana dengan mengikuti contoh atau pendapat orang tua, guru, dan teman. Perubahan atau peniruan sikap juga dapat dibentuk dari situasi pembelajaran. Dalam hal ini, siswa mencontoh dari sifat guru untuk membentuk sikap mereka.
McLeod dalam Galbraith dan Haines (http://mste.illinois.edu/courses/ci336sp04 /folders/mmckelve/biblio/esm_Disentangling%20the%20Nexus.pdf) sikap dapat dilihat sebagai hasil dari reaksi emosional yang telah diinternalisasikan dalam perasaan siswa dengan kata lain sikap merefleksikan reaksi emosioal, kepercayaan terhadap sebuah obyek, atau perilaku terhadap suatu obyek. Menurut Relich, dkk (http://www.merga.net.au/documents/ MERJ_6_1_RelichWay%26Martin.pdf) definisi sikap secara umum meliputi pendapat bahwa tentang sikap dalam merespon obyek, tugas, atau situasi. Menurut Allport dalam Kulm (1980: 356) sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang diorganisasi melalui pengalaman yang mempengaruhi respon seseorang terhadap semua objek dan situasi yang saling berhubungan. Selain itu, Rokeach dalam Kulm (1980: 356) mendefinisikan sikap sebagai sebuah pengorganisasian dari beberapa keyakinan yang terfokus pada objek atau situasi yang spesifik yang berpengaruh dalam merespon beberapa bentuk tidakan.
Definisi sikap terhadap matematika sangat beragam. Pada dasarnya sikap terhadap matematika adalah perasaan emosional positif atau negative terhadap matematika (Zan & Martino, dalam Akinsola dan Olowojaiye, 2008: 62). Menurut Hart (Akinsola dan Olowojaiye, 2008: 62) sikap individu terhadap matematika merupakan cara yang kompleks tentang emosi yang berhubungan dengan matematika, keyakikan matematika, meliputi sikap positif dan negative, dan bagaimana siswa bertingkah laku terhadap matematika. Hannula dalam Curtis (http://krex.kstate.edu/dspace/bitstream/2097/151/1/ KarenaCurtis2006. pdf) mendedinisikan sikap sebagai sifat emosional terhadap matematika. Definisi mempunyai empat komponen yang meliputi:
a)    Emosi pengalaman siswa selama kegiatan matematika.
b)   Emosi yang terbentuk secara otomatis dalam konsep matematika.
c)    Evaluasi tentang situasi yang dialami siswa sebagai akibat dari melakukan kegiatan matematika.
d)   Nilai matematika yang berhubungan dengan tujuan siswa secara umum.
Menurut Kulm (1980: 356) sikap merupakan perilaku afektif yang terdiri dari lima level, yaitu (1) receiving, yang mana siswa mulai memperhatikan suatu fenomena, (2) responding, siswa mulai merasakan kehadiran fenomena tersebut, (3) valuing, siswa mulai berinteraksi dengan fenomena, (4) organization, siswa mulai mengkosep perilaku dan perasaan tetang fenomena, dan (5) characterization, siswa mengembangkan sebuah filosofi yang konsisten tentang fenomena tersebut. Lianghuo, dkk (2005: math.ecnu.edu.cn/earcome3/TSG6/4-Fan%20L().doc) menyebutkan bahwa sikap siswa terhadap matematika sebagai pelajaran di sekolah meliputi matematika sebagai pelajaran dan pembelajaran matematika serta implikasinya terhadap penerimaan matematika dalam komunitas pendidikan matematika.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan emosi seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu. Oleh karena itu, sikap terhadap matematika merupkan kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak matematika. Sikap terhadap matematika dapat dilihat saat siswa mengikuti pembelajaran matematika, mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengikuti kursus matematika.
Menurut Mammana dan Pennisi (http://math.unipa.it/~grim/21_project/ Mammana395-398.pdf) sikap terhadap matematika terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu emosional, pandangan seseorang tentang matematika, dan kepercayaan diri.
a)    Emosi adalah kumpulan dari rasa ketakutan, kekhawatiran, frustasi, kemarahan, kebanggaan, kenyamanan, kegembiraan, kebahagiaan, dll yang terbangun oleh aktivitas yang dilakukan oleh seseorang.
b)    Pandangan siswa tentang matematika adalah kumpulan keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap matematika.
c)    Kepercayaan diri didefinisikan sebagai keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan performa yang mempengaruhi kehidupan mereka. Keyakinan terhadap diri sendiri menentukan bagaimana orang berpikir, merasakan, dan memotivasi diri mereka sendiri dalam bertindak.
Sikap terhadap matematika tentunya tidak dapat dipisahkan dari keyakinan seseorang terhadap sesuatu, karena keyakinan inilah yang akan membentuk sikap seseorang terhadap sesuatu. Keyakinan dibedakan menjadi empat proses utama (Mammana dan Pennisi, http://math.unipa.it/~grim/21_project/ Mammana395-398.pdf), yaitu:
a)    Proses kognitif
Kebanyakan perilaku manusia mempunyai tujuan berdasarkan pemikiran ke depan. Tujuan seseorang dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan mereka sendiri. Keyakinan yang kuat, tujuan yang tinggi akan menantang orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam membangun komitmen dengan dirinya sendiri.
b)   Proses motivasional
Kepercayaan terhadap diri mereka sendiri merupakan kunci penting dalam motivasi. Sebagian besar motivasi dibangun secara kognitif. Orang memotivasi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan mereka dengan pemikiran ke depan. Mereka mengatur tujuan mereka dan merencanakan tindakan merekan untuk direalisasikan di masa depan.
c)    Proses afektif
Perasaan akan keyakinan diri yang kuat akan memberikan semangat kepada orang dalam mengatasi situasi sulit penuh tekanan. Tingkat keyakinan diri yang rendah dapat menyebabkan orang mudah depresi
d)   Proses seleksi
Sebagian orang membentuk lingkungan mereka, sehingga keyakinan terhadap diri mereka dapat terbentuk dalam hidup mereka yang dipengaruhi oleh tipe aktivitas dan lingkungan yang dipilih seseorang. Seseorang menghindari aktivitas dan situasi yang mereka percaya melebihi kemampuan mereka.



C.      Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Tapia dan Marsh dalam Curtis (http://krex.kstate.edu/dspace/bitstream/2097/ 151/1/KarenaCurtis2006. pdf) menyebutkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi sikap siswa terhadap matematika, yaitu:
a)    Kepercayaan.
Kepercayaan mengukur bagaimana siswa merasa yakin akan performanya dalam matematika.
b)   Kekhawatiran.
Kekhawatiran mengukur perasaan khawatir akan matematika.
c)    Nilai
Nilai merujuk pada keykinan siswa akan kegunaan, relevansi, dan keberhargaan matematika dalam kehidupan pribadi siswa dan kehidupan professional mereka di masa depan.
d)   Kesenangan
Kesenangan matematika mengukur seberapa siswa merasa nyaman dalam matematika dan terlibat dalam kelas matematika.
e)    Motivasi
Motivasi mengukur minat siswa dalam matematika dan keinginan siswa untuk mempelajari matematika lebih lanjut.
Selain faktor di atas, terdapat faktor khusus yang menyebabkan sikap negative siswa terhadap matematika, meliputi:
a)    Kekhawatiran terhadap matematika
Kekhawatira terhadap matematika sering diaggap sebagai faktor yang menyebabkan sikap negatif siswa terhadap matematika. Kekhawatiran terhadap matematika didefinisikan sebagai ketakutan siswa saat melakukan perhitungan dan menyelesaikan masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Kekhawatiran tentang matematika biasanya bermula dari kurangnya rasa percaya diri. Ketika siswa tidak nyaman dengan matematika, siswa akan merasa bahwa matematika itu sulit dan tidak berguna.

b)   Materi pembelajaran matematika
Tidak hanya kekhawatiran yang menjadi masalah bagi siswa, tetapi juga perasaan kurang menghargai matematika. Perasaan ini lebih pada isi materi matematika bukan pembelajaran matematika itu sendiri. Siswa merasa bahwa isi matematika sangat abstrak dan jauh dari kehidupan sehari-hari mereka, sehingga tidak berguna bagi kehidupan mereka.
c)    Kurangnya rasa percaya diri
Faktor terakhir yang mengakibatkan munculnya sikap negative siswa terhadap matematika adalah kurangya rasa percaya diri. Ketika siswa merasa tidak percaya diri ketika menyelesaikan masalah matematika, mereka akan merasa bahwa pekerjaan mereka salah atau tidak sempurna. Karena kurangnya rasa pecaya diri dalam menyelesaikan masalah matematika biasanya siswa takut untuk berbuat kesalahan.
.
D.      Penilaian Sikap
Menurut Kiesler, dkk dalam Kulm (1980: 361) terdapat lima kategori dalam penilaian sikap, yaitu:
a)    Laporan diri
Skala angka laporan diri untuk sikap terhadap matematika biasanya dikembangkan dan digunakan dalam berbagai penelitian. Walaupun skala angka ini masih jauh dari lengkap, tetapi beberapa laporan telah menggunakan atau mengembangkan skala sikap yang tidak melibatkan skala itu sendiri. Konstruksi skala laporan diri yang baik seharusnya terus dikembangkan dan digunakan. Keuntungan administratif dari penggunaan skala ini adalah memberikan penilaian seobjektif mungkin. Perhatian yang lebih seharusnya diberikan pada validasi eksternal dari skala tersebut dengan menggunakan perilaku siswa dan menggunakan pertanyaan open-ended untuk membangun itemnya. Hal ini memungkinkan item dapat dikembangkan hanya dengan pendekatan validitas konstruk walaupun kurang tepat untuk mengukur sikap siswa terhadap matematika dalam populasi.



b)   Observasi perilaku dalam situasi yang natural.
Secara umum guru dalam kegiatan rutin mereka membuat keputusan tentang sikap berdasarkan observasi mereka terhadap tingkah laku siswa saat siswa berpartisipasi di kelas matematika. Observasi dan pencatatan tingkah laku siswa baik verbal maupun non verbal di kelas dapat digunakan sebagai perangkat penilaian lingkungan kelas dan faktor belajar siswa.
c)    Reaksi terhadap rangsangan yang terstruktur.
Menggunakan rangsangan yang terstruktur dapat digunakan untuk menilai sikap siswa. Rangsangan ini dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggambarkan sikap siswa, contonya adalah pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
d)   Performa saat menyelesaikan tugas.
Pernampilan siswa dalam menyelesaikan tugas dapat memberikan informasi tentang sikap. Melalui tugas untuk melakukan komputasi matematika, penyelesaian masalah, atau menggabambar grafik, memungkinkan guru untu mengambil kesimpulan tentang sikap siswa tehadap matematika. Jika tugas matematika dikerjakan secara lengkap dan hati-hati, jika siswa mengerjakan tugas lebih banyak, dan jika siswa mengerjakan tugas dengan serius dan penuh perhatian maka dapat disimpulkan bahwa siswa memiliki sikap yang positif terhadap matematika. Semakin bervariasi tugas yang diberikan kepada siswa akan memberikan informasi yang lebih banyak tentang tipe-tipe sikap siswa terhadap matematika.
e)    Reaksi psikologis.
Apakah siswa merasa khawatir atau tenang dalam kelas matematika? Apakah terdapat perilaku yang tidak biasa yang tidak ada di kelas yang lain? Apakah siswa agresif? Apakah siswa menolak tugas atau menunujukkan kemampuan mereka? Observasi tentang reaksi psikologis seperti ini dapat memberikan gambaran tentang apa yang terjadi dalam diri siswa, yang mungkin berguna untuk menilai sikap siswa terhadap suatu pendekatan atau program.


E.       Hasil Penelitian tentang Sikap
1.        Sikap dan prestasi belajar.
Crosswhite dalam Kulm (1980: 366) menyebutkan bahwa hubungan antara sikap dan prestasi belajar menunjukkan korelasi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sikap terhadap matematika tidak banyak berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika. Pendapat Crosswhite diperkuat oleh peneltian yang dilakukan oleh Tayraukham, dkk pada tahun 2009 di sebuah sekolah di Thailand (http://www.insipub.com/ajbas/2009/3036-3039.pdf) menunjukkan bahwa sikap terhadap matematika tidak berkorelasi terhadap pembelajaran matemtaika dan kemampuan berpikir analitik. Selain itu, Papanastasiou dalam Lianghuo, dkk (2005: math.ecnu.edu.cn/earcome3/TSG6/4-Fan%20L().doc) menyebutkan bahwa ada penelitian yang melaporkan bahwa hubungan antara sikap terhadap matematika dan prestasi belajar matematika tidak menunjukkan hubungn yang signifikan secara statistik. Lianghuo, dkk (2005: math.ecnu.edu.cn/earcome3/TSG6/4-Fan%20L().doc) juga menyebutkan bahwa ada bukti penelitian yang menunjukkan tingginya performa siswa dalam matematika tidak cukup menunjukkan hubungan yang positif dengan sikap mereka dalam matematika dan pembelajaran matematika.
Walaupun bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang tinggi antara sikap terhadap matematika dan prestasi belajar matematika, akan tetapi meningkatkan sikap positif siswa terhadap matematika masih menjadi salah satu perhatian dalam pembelajaran matematika. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya negara yang menjadikan peningkatan sikap positif siswa terhadap matematika sebagai salah satu tujuan pendidikan matematika. Contohnya, kurikulum pembelajaran matematika di Singapura yang menyebutkan bahwa “pendidikan matematika bertujuan untuk memungkinkan siswa mengmbangkan sikap positif terhadap matematika yang meliputi kepercayaan, kenyamanan, dan ketekunan. Selain Singapura, Australia juga salah satu negara yang menyebutkan pentingnya sikap positif dalam tujuan pendidikan matematika (Lianghuo, dkk, 2005: math.ecnu.edu.cn/earcome3/TSG6/4Fan%20L(). doc).
2.        Sikap dan perbedaan gender.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan gender mengakibatkan pada perbedaan sikap siswa terhadap matematika. Berdasarkan beberapa penelitan dapat disimpulkan bahwa perempuan mempunyai sikap yang lebih negatif dibandingkan laki-laki terhadap matematika. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chamdimba di Malawi (http://tsg.icme11.org/document/get/156). Malawi adalah salah satu negara dengan perbedaan gender yang sangat kuat. Selain itu, Chamdimba juga menyebutkan bahwa suatu kelas yang teridiri dari satu jenis gender (hanya laki-laki atau perempuan saja) memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan suatau kelas yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
3.        Komponen sikap siswa terhadap matematika.
Penelitian tentang komponen sikap yang meliputi pandangan, kekhawatiran, dan keyakinan siswa terhadap matematika dilkukan di sebuah sekolah di Singapura oleh Lianghuo, dkk (2005: math.ecnu.edu.cn/earcome3/TSG6/4Fan%20L(). doc). Hasil penelitian tersebut menunjukkan:
a.    Pandangan siswa terhadap matematika
Kebayakan siswa merasa tertarik terhadap matematika dan mereka berniat untuk menigkatkan kemampuan mereka, akan tetapi mereka tidak mau menggunakan waktu mereka lebih banyak untuk mempelajari matematika. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa matematika yang dipelajari di sekolah terlalu banyak dan hanya berkisar pada masalah rutin dengan pendekatan close-ended.
b.    Kekhawatiran tentang matematika
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian siswa merasa khawatir dengan matematika dan pembelajaran matematika. Ini menunjukkan hal yang positif karena menunjukkan bahwa kebanyakan siswa akan serius mempelajari matematika. Akan tetapi, ini juga mengindikasikan bahwa siswa kurang mempunyai rasa percaya diri, ketakutan, dan sikap negative terhadap matematika.
c.    Keyakinan siswa akan matematika
Keyakinan siswa akan matematika dapat dilihat dari dua pertanyaan berikut: (1) apakah siswa berpikir bahwa matematika itu berguna bagi diriya dan kehidupannya di masa datang? (2) bagaimana matematika bisa menjadi hal yang penting bagi siswa? Tingginya siswa yang merasa yakin terhadap matematika menunujukkan bahwa sebagian besar siswa merasa matematika itu peting bagi dirinya dan kehidupannya mendatang. Hal ini memungkin guru untuk meningkatkan sikap positif terhadap matematika.











DAFTAR PUSTAKA

Akinsola, M. K., Olowojaiye, F. B., 2008. “Teacher Instructional Methods and Student Attitudes towards Mathematics”. Dalam International Electronic Journal of Mathematics Education Volume 3, Number 1. http://www.iejme.com/ 012008/d4.pdf. Diakses 23 Februari 2011.

Chamdimba, Panji Catherine. Students' Attitude Towards Mathematics in malawi: Can They Be Improved? http://tsg.icme11.org/document/get/156. Diakses 23 Februari 2011.

Curtis, Karena M. 2006. Improving Student Attitudes: A Study of A Mathematics Curriculum Innovation. http://krex.k-state.edu/dspace/bitstream/2097/151/1/Karena Curtis2006.pdf. Diakses 22 Februari 2011.

Galbraith, Peter dan Haines, Chris. Disentangling the Nexus: Attitudes to Mathematics and Technology in A Computer Learning Environment. http://mste.illinois.edu/courses/ ci336sp04/folders/mmckelve/biblio/esm_Disentangling%20the%20Nexus.pdf. Diakses 22 Februari 2011.

Kulm, Gerald. 1980. “Research on Mathematic Attitude”. Dalam Richard J. Shumway. Research in Mathematics Education. Reston VA: The National Council of Teachers of Mathematics Inc.

Lianghuo, dkk. 2005. Assessing Singapore Students’ Attitudes toward Mathematics and Mathematics Learning: Findings from a Survey of Lower Secondary Students. math.ecnu.edu.cn/earcome3/TSG6/4-Fan%20L().doc). Diakses 23 Februari 2011.

Mammana, Maria Flavia dan Pennisi, Mario. A Class Practice to Improve Student’s Attitude Towards Mathematics. http://math.unipa.it/~grim/21_project/Mammana395-398.pdf. Diakses 23 Februari 2011.

Ponte, João Pedro, dkk. Students' Views and Attitudes towards Mathematics Teaching and Learning: A Case Study of A Curriculum Experience. http://www.google.co.id/ #hl=id&source=hp&biw=1440&bih=736&q=attitude+in+mathematics+teaching+and+learning&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=1853621f595215f6. Diakses 22 Februari 2011.

Relich, Joe, dkk. 1994. ”Attitudes to Teaching Mathematics: Further Development of a Measurement Instrument. Dalam Mathematics Education Researh Journal Vol. 6 No.1. http://www.merga.net.au/documents/MERJ_6_1_RelichWay%26Martin.pdf. Diakses 22 Februari 2011.

Tayraukham, dkk. 2009. Comparisons of Mathematics Achievement, Attitude towards Mathematicsand Analytical Thinking between Using the Geometer's Sketchpad Program as Media and Conventional Learning Activities. http://www.insipub.com/ajbas/2009/3036-3039.pdf. Diakses 22 Februari 2011.

Yara, Philias Olatunde. 2009. Relationship between Teachers’ Attitude and Students’ Academic Achievement in Mathematics in Some Selected Senior Secondary Schools in Southwstern Nigeria. Dalam European Journal of Social Sciences, Vol. 11 Number 3. http://www.eurojournals.com/ejss_11_3_02.pdf. Diakses 22 Februari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar