DISPOSISI MATEMATIS



A.  Pendahuluan
Perkembangan  sains  dan  teknologi  merupakan  salah  satu  alasan  tentang perlu dikuasainya matematika oleh siswa. Matematika merupakan  ilmu universal yang  mendasari  perkembangan  teknologi  modern,  mempunyai  peran  penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya fikir manusia. Dengan belajar matematika  siswa  dapat  berlatih  menggunakan  fikirannya  secara  logis,  analitis, sistematis,  kritis  dan  kreatif  serta  memiliki  kemampuan  bekerjasama  dalam menghadapi  berbagai  masalah  serta  mampu  memanfaatkan  informasi  yang diterimanya.  Menurut  NCTM  (2000),  dalam  belajar  matematika  siswa  dituntut untuk  memiliki kemampuan: pemahaman,  pemecahan masalah,  komunikasi, dan koneksi matematis. 
Sejalan  dengan  pernyataan  di  atas  Sumarmo  (2000)  mengatakan  bahwa pembelajaran  matematika  hendaknya  mengutamakan  pada  pengembangan  daya matematik  (mathematical  power)  siswa  yang  meliputi:  kemampuan  menggali, menyusun konjektur dan menalar secara logik, menyelesaikan masalah yang tidak rutin,  menyelesaikan  masalah  (problem  solving),  berkomunikasi  secara matematika dan  mengaitkan  ide  matematika  dengan  kegiatan  intelektual lainnya (koneksi matematik).
Kemampuan  pemahaman,  komunikasi,  dan  disposisi  matematis merupakan  kemampuan  yang  esensial  untuk  dikembangkan  pada  siswa  sekolah menengah.  Pentingnya  pemilikan  kedua  kemampuan  matematis  dan  disposisi matematis  di  atas  termuat  dalam  tujuan  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan (KTSP,  2006)  untuk  Sekolah  Menengah  Atas  antara  lain:  siswa  memiliki kemampuan memahami konsep matematika dan kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau  idea  matematika dengan menggunakan simbol, tabel, diagram,  atau media lain,  serta memiliki sikap positip (diposisi) terhadap kegunaan matematika dalam  kehidupan,  misalnya  rasa  ingin  tahu,  perhatian,  dan  minat  mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.  KTSP 2006 menganjurkan agar  pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan  masalah  yang  sesuai dengan  situasi (contextual  problem), kemudian secara  bertahap  siswa    dibimbing  memahami  konsep  matematika  secara komprehensif.
Pada  dasarnya  pencapaian  pemahaman  tersebut  tidak  sekadar untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika saja namun diharapkan muncul efek  iringan dari pembelajaran tersebut.  Efek  iringan yang  dimaksud  antara  lain adalah  siswa  lebih:  (1)  memahami  keterkaitan  antar  topik  matematika;    (2) menyadari  akan  penting  dan  strategisnya    matematika  bagi  bidang  lain;  (3) memahami  peranan  matematika  dalam  kehidupan  manusia;  (4)  mampu  berfikir logis, kritis dan sistematis; (5) kreatif dan inovatif dalam  mencari solusi; dan (6) peduli pada lingkungan sekitarnya.

B. Pengertian Disposisi Matematis
NCTM  (1989)  menyatakan  disposisi  matematis  adalah  keterkaitan  dan apresiasi terhadap  matematika  yaitu  suatu  kecenderungan  untuk  berpikir  dan bertindak dengan cara yang positif. Disposisi siswa terhadap matematika terwujud melalui  sikap  dan  tindakan  dalam  memilih  pendekatan  menyelesaikan  tugas. Apakah  dilakukan  dengan  percaya  diri,  keingintahuan  mencari  alternatif,  tekun, dan  tertantang  serta  kecendruangan  siswa  merefleksi  cara  berpikir  yang dilakukannya. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari  atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan  respon  terhadap  kejadian, aktivitas,  atau  pengetahuan  yang  baru diterima  (Irianto,  2007:  113  ).  Refleksi  siswa  akan  terlihat  pada  saat  siswa berdiskusi, pernyataan langsung tentang  materi pelajaran  yang diperolehnya pada hari ini, catatan, dan hasil kerjanya.
Sejalan dengan  hal  di  atas,  Wardani  (2008:  15) mendefinisikan disposisi matematis  adalah  ketertarikan  dan  apresiasi  terhadap  matematika  yaitu kecendrungan untuk berpikir dan bertindak dengan positif, termasuk kepercayaan diri,  keingintahuan,  ketekunan,  antusias  dalam  belajar,  gigih  menghadapi permasalahan, fleksibel, mau berbagi dengan orang lain, reflektif dalam kegiatan matematik  (doing  math).  Sedangkan  menurut  Mulyana  (2009:19)  disposisi terhadap  matematika  adalah  perubahan  kecendrungan  siswa  dalam  memandang dan  bersikap  terhadap  matematika,  serta  bertindak  ketika  belajar  matematika. Misalnya,  ketika  siswa  dapat  menyelesaikan  permasalahan  non  rutin,  sikap  dan keyakinannya sebagai seorang pelajar menjadi lebih positif. Makin banyak konsep matematika dipahami, makin yakinlah bahwa matematika itu dapat dikuasainya.   Menurut  Sumarmo  (2006:  4),  disposisi  matematis  adalah  keinginan, kesadaran,  dan dedikasi  yang  kuat  pada  diri  siswa  untuk belajar  matematika  dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika.
Menurut  Maxwell  (2001),  disposisi  terdiri  dari  (1)  inclination (kecenderungan), yaitu bagaimana sikap siswa terhadap tugas-tugas; (2) sensitivity (kepekaan),  yaitu  bagaimana  kesiapan  siswa  dalam  menghadapi  tugas;  dan  (3) ability  (kemampuan),  yaitu  bagaimana  siswa  fokus  untuk  menyelesaikan  tugas secara  lengkap;  dan  (4)  enjoyment  (kesenangan),  yaitu  bagaimana  tingkah  laku siswa dalam menyelesaikan tugas. 
Disposisi  matematis  siswa  dikatakan  baik  jika  siswa  tersebut  menyukai masalah-masalah  yang  merupakan  tantangan  serta  melibatkan  dirinya  secara langsung dalam menemukan/menyelesaikan  masalah. Selain itu siswa merasakan dirinya mengalami  proses  belajar  saat  menyelesaikan  tantangan  tersebut.  Dalam prosesnya  siswa  merasakan  munculnya  kepercayaan  diri,  pengharapan  dan kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya. Polking (Syaban, 2008: 32)  menyatakan disposisi matematis meliputi: (1) kepercayaan dalam menggunakan  matematika  untuk memecahkan permasalahan, untuk  mengkomunikasikan  gagasan,  dan  untuk  memberikan  alasan;  (2) fleksibilitas  dalam menyelidiki gagasan matematis dan berusaha  mencari metoda alternatif dalam memecahkan permasalahan;  (3)  tekun  untuk  mengerjakan  tugas matematika;  (4)  mempunyai  minat,  keingintahuan  (curiosity),  dan  daya  temu dalam melakukan pekerjaan matematika; (5) kecenderungan untuk memonitor dan merefleksikan  performance  dan  penalaran  mereka  sendiri;  (6)  menilai  aplikasi matematika ke situasi lain yang timbul dalam matematika dan pengalaman sehari-hari;  (7)  penghargaan  (appreciation)  peran  matematika  dalam  kultur  dan  nilai, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa. 

C. Indikator Disposisi Matematis
Untuk mengukur disposisi matematis siswa diperlukan beberapa indikator. Adapun  beberapa  indikator  yang  dinyatakan  oleh  NCTM  (1989:  233)  adalah :
1.  Kepercayaan  diri  dalam  menyelesaikan  masalah  matematika, mengkomunikasikan ide-ide, dan memberi alasan.
2.  Fleksibilitas  dalam  mengeksplorasi  ide-ide  matematis  dan  mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah.
3.  Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika.
4.  Ketertarikan,  keingintahuan,  dan  kemampuan  untuk  menemukan  dalam mengerjakan matematika.
5.  Kecenderungan  untuk  memonitor  dan  merefleksi  proses  berpikir  dan kinerja diri sendiri.
6.  Menilai  aplikasi  matematika  dalam  bidang  lain  dan  dalam  kehidupan sehari-hari.  
7.  Penghargaan (appreciation) peran matematika dalam budaya dan nilainya, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa.
Sedangkan menurut Syaban  (2008:  33)  menyatakan,  untuk  mengukur  disposisi  matematis siswa indikator yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.  Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar matematika.
2.  Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika.
3.  Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan.
4.  Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.
5.  Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
6.  Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain. 
Sedangkan  menurut Wardani (2008: 232),  aspek-aspek  yang diukur  pada disposisi  matematis  adalah  (1)  kepercayaan  diri  dengan  indikator  percaya  diri terhadap  kemampuan/keyakinan;  (2)  keingintahuan  terdiri  dari  empat  indikator yaitu: sering mengajukan pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias/semangat dalam  belajar,  banyak  membaca/mencari  sumber  lain;  (3)  ketekunan  dengan indikator gigih/tekun/perhatian/kesungguhan; (4) flesibilitas, yang terdiri dari tiga indikator  yaitu:  kerjasama/berbagi  pengetahuan,  menghargai  pendapat  yang berbeda,  berusaha  mencari  solusi/strategi  lain;  (5)  reflektif,  terdiri  dari  dua indikator  yaitu  bertindak  dan  berhubungan  dengan  matematika,  menyukai/rasa senang terhadap matematika. 
Berdasarkan indikator-indikator disposisi matematis yang dikemukakan di atas, indikator disposisi matematis dapatb disimpulkan sebagai (1) kepercayaan diri dalam  menyelesaikan  masalah  matematika,  mengkomunikasikan  ide-ide,  dan memberi  alasan;  (2)  fleksibel  dalam  mengeksplorasi  ide-ide  matematis  dan  mencoba berbagai   metode untuk  memecahkan  masalah; (3) bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika; (4) ketertarikan dan keingintahuan untuk menemukan  sesuatu  yang  baru  dalam  mengerjakan  matematika;  (5) kecenderungan  untuk  memonitor  dan merefleksi proses berpikir  dan kinerja; (6) mengaplikasikan matematika dalam bidang lain dan dan dalam kehidupan sehari-hari;  dan  (7)  penghargaan  peran  matematika  dalam  kultur  dan  nilai,  baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa.
Untuk mengungkapkan disposisi matematis siswa, dapat dilakukan dengan membuat  skala  disposisi  dan  pengamatan.  Skala  disposisi  memuat  pernyataan-pernyataan  masing-masing  komponen  disposisi.  Misalnya  “untuk  pemahaman lebih mendalam, saya mencoba menyelesaikan soal matematika dengan cara lain”. Melalui pengamatan, disposisi siswa dapat diketahui ada tidaknya perubahan pada saat siswa memperoleh atau mengerjakan tugas-tugas. Misalnya pada saat proses pembelajaran  sedang  berlangsung  dapat  dilihat  apakah  siswa  dalam menyelesaikan  soal  matematika  yang  sulit  siswa  terus  berusaha  sehingga memperoleh jawaban yang benar.

D. Disposisi Matematika dalam pembelajaran
Terdapat hubungan yang kuat antara disposisi  matematis  dan  pembelajaran. Pembelajaran  matematika  selain  untuk meningkatkan kemampuan  berpikir matematis atau aspek kognitif siswa, haruslah pula  memperhatikan  aspek afektif  siswa,  yaitu disposisi  matematis.  Pembelajaran matematika  di  kelas  harus  dirancang  khusus sehingga  selain dapat  meningkatkan prestasi  belajar  siswa  juga  dapat  meningkatkan  disposisi  matematis.  Selanjutnya, NCTM (2000) menyatakan bahwa sikap siswa dalam menghadapi matematika dan keyakinannya dapat mempengaruhi prestasi mereka dalam matematika.
Disposisi  matematis  merupakan  salah  satu  faktor  yang  ikut  menentukan keberhasilan  belajar  siswa.  Siswa  memerlukan  disposisi  yang  akan  menjadikan mereka  gigih  menghadapi  masalah  yang  lebih  menantang,  untuk  bertanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri, dan untuk mengembangkan kebiasaan baik di matematika. Sayangnya, guru cenderung mengurangi beban belajar matematika dengan  maksud  untuk  membantu  siswa  padahal  itu  merupakan  sesuatu  yang penting untuk siswa.  
Pembelajaran matematika pada dasarnya menganut: prinsip belajar sepanjang ayat, prinsip siswa belajar aktif,  dan prinsip “learning how to learn”. Prinsip siswa lajar aktif, merujuk pada pengertian belajar sebagai sesuatu yang dilakukan oleh siswa, dan bukan  sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Pernyataan tersebut menganut pandangan konstruktivisma bahwa siswa sebagai individu yang aktif membangun pengetahuan dan bukan sekadar penerima informasi yang sudah jadi.  Dalam pandangan konstruktivisme belajarmerupakan suatu proses, situasi, dan upaya yang dirancang guru sedemikian rupa sehingga membuat siswa belajar sesuai dengan prinsip learning how to learn. Dengan kata lain, dalam pembelajaran  guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dan manajer belajar bagi siswanya. Tugas guru adalah memilih informasi/tugas/masalah baru yang berkaitan dengan pengetahuan awal siswa, dan menciptakan lingkungan belajar (peran sebagai fasilitator) agar terjadi interaksi antara informasi baru dengan pengetahuan awal (kondisi tak seimbang). Kemudian guru membantu siswa agar melalui akomodasi dan asosiai terjadi keseimbangan baru (peran sebagai motivator) sehingga terbentuk pengetahuan baru pada siswa. Kegiatan guru memilih informasi (tugas) baru, menciptakan lingkungan, dan memotivasi mahasiswa secara keseluruhan menggambarkan peran guru sebagai manager belajar UNESCO merinci prinsip learning how to learn pada empat pilar pendidikan sebagai berikut. 
1)    Belajar  memahami (Learning to know)
Belajar memahami pengetahuan matematika (konsep, prinsip, idea, teorema, dan hubungan di antara mereka).
2)  Belajar berbuat atau melaksanakan ( Learning to do
Belajar  melaksanakan proses matematika  (sesuai dengan kemampuan dasar matematika jenjang sekolah yang bersangkutan)
3)   Belajar menjadi diri sendiri (Learning to be)
Belajar menjadi dirinya sendiri, belajar memahami dan  menghargai produk dan proses matematika dengan cara menunjukkan sikap kerja keras, ulet, disiplin, jujur, mempunyai motif berprestasi dan disposisi matematik
4)  Belajar hidup dalam kebersamaan (Learning to live together).
Belajar memahami orang lain, bekerja sama, menghargai dan memahami pendapat yang berbeda, serta saling menyumbang pendapat. 
Dari beberapa definisi sebtas disposisi matematis  adalah  keinginan,  kesadaran,  dan  dedikasi  yang kuat  pada  diri  siswa untuk  belajar  matematika  dan  melaksanakan  berbagai  kegiatan  matematika. Memiliki disposisi matematis tidak cukup ditunjukkan hanya dengan menyenangi belajar matematika. Sebagai contoh, seorang siswa senang belajar matematika dan ia mempunyai keyakinan bahwa dalam menyelesaikan masalah matematika selalu hanya  ada  satu  cara  dan  jawaban  yang  benar.  Padahal  dalam  matematika tidak hanya  ada  satu  cara  penyelesaian  dan  satu  jawaban  yang  benar.  Hal  ini menunjukkan bahwa senang terhadap matematika saja tidak cukup.
Herman  (2006:  131-132),  dalam laporan  hasil  penelitiannya mengungkapkan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) terbuka dan PBM terstruktur memberikan dampak terhadap pembentukan disposisi positif siswa terhadap matematika. Skala disposisi  matematis  siswa  yang  mendapatkan  kedua  pendekatan  pembelajaran berbasis masalah tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam hal ini, siswa  yang  mendapatkan  PBM  terbuka  memiliki  disposisi  matematis  lebih  baik daripada yang mendapatkan PBM terstruktur.
Syaban (2008: 185) tentang disposisi matematis siswa kelas X SMA di  kota  Bandung,  menunjukkan  bahwa  terdapat  perbedaan  yang  signifikan disposisi  matematis  antara  siswa  yang  pembelajarannya  menggunakan pembelajaran  investigasi  dan  pembelajaran  konvensional.  Disposisi  matematis siswa  secara  keseluruhan  yang  pembelajarannya  menggunakan  model pembelajaran  investigasi  lebih  baik  daripada  siswa  yang  menggunakan pembelajarannya secara konvensional.
Hasil  penelitian  terhadap  siswa  SMA  yang  dilakukan  Wardani  (2009: 186), menyimpulkan bahwa disposisi matematis siswa yang belajar dengan inkuiri model  Silver  secara  grup  (ISG)  dan  inkuiri  model  Silver  secara  klasikal  (ISK) positif.  Respon  siswa  dalam  aspek  kepercayaan  diri,  keingintahuan,  ketekunan, fleksibilitas, dan  reflektif  sangat positif. Respon siswa terbanyak diberikan  pada aspek reflektif dan fleksibilitas atau keluwesan. 
Studi Mulyana (2009)  tentang pengaruh model pembelajaran  matematika Knisley  terhadap  peningkatan  pemahaman  dan  disposisi  matematis  siswa  SMA program  IPA.  Hasil  studi  menunjukkan  bahwa  secara  keseluruhan  terdapat perbedaan  peningkatan  pemahaman  matematis  dan  disposisi  matematis  siswa kelas  IX  SMA  IPA  yang  pembelajarannya  menggunakan  model  pembelajaran matematika  Knisley  dengan  siswa  yang  pembelajarannya  menggunakan  model pembelajaran matematika konvensional.
contoh butir skala disposisi matematik (Wardani, 2009)
 Pilihah jawaban paling sesuai dengan pendapatmu
SS : sangat setuju   S: Setuju    TS:  Tidak setujku      STS: sangat tidak setuju
A description...








DAFTAR PUSTAKA
Syaban, M. (2008). Menumbuhkan daya dan disposisi siswa SMA melalui pembelajaran investigasi. Diakses pada tanggal 27 mei 2011 pada http://www.uai.no/no/content/download/2math.html
Wardani, S. (2002) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematka melalui Model kooeratif Tipe Jigsaw. . Diakses pada tanggal 27 mei 2011 pada http://www.matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf
Williams, G. (2002). “Identifying Tasks that Promote Creative Thinking in Mathematics: A Tool” . Mathematical Education Research Group of Australia Conference. Aukland New Zealand, July , 2002
Utari Sumarmo, Januari 2010– Hal : 26 Wardani, S. (2009) Meningkatkan emampuan berfikir kreatif dan disposisi matematik  siswa SMA melalui pembelajaran dengan pendekatan model Sylver. . Diakses pada tanggal 27 mei 2011 pada ttp://www.matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf

PERBEDAAN GENDER DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA



A.    Latar Belakang
Perbedaan perempuan dan laki-laki hampir terjadi dalam berbagai bidang. Perbedaan tersebut terjadi dalam bidang pendidikan, pekerjaan, politik dan sebagainya. Pembelajaran di sini hendak  mendiskusikan  menjelaskan  perbedaan  gender  yang terjadi  dalam  dunia  pendidikan.  Beberapa studi menunjukkan  bahwa  dalam pencapaian prestasi belajar siswa, ternyata  juga  terjadi perbedaan. Perempuan hampir selalu mempunyai prestasi belajar yang lebih rendah daripada laki-laki. Salah satu studi dilakukan oleh Meighan (1981) pada hasil General Certificate of Education (GCE) di Amerika, ternyata menghasilkan data. Pertama, sampai usia 11 tahun, laki-laki dan perempuan pada umumnya mempunyai tingkat prestasi yang  sama.  Kedua,  perbandingan  jumlah  siswa  laki-laki  dan  perempuan  yang memperoleh nilai “A”, pada beberapa mata pelajaran, menunjukkan hasil: Fisika: 6:1; Matematika: 4:1; Kimia: 3:1; Biologi: 9:8; Menggambar: 200:1; Bahasa: 1:2. Secara  lebih  spesifik  studi  ini  berupaya  melihat  perbedaan  gender antara  perempuan  dan  laki-laki  di  SMP/SMU  dalam  perolehan prestasi  belajar. 
Berbagai studi penelitian  telah menemukan bahwa perbedaan-perbedaan gender berpengaruh dalam pembelajaran matematika  terjadi  selama usia  sekolah dasar  (Brandon, 1985). Studi  lainnya menyatakan  bahwa  adanya  pengaruh  perbedaan  gender  dapat  diamati  pada  siswa SMP  (Benbow, 1988)  dan  pada  siswa SMA  (Leahey,  2001). Di SMA,  kesenjangan  gender  yang  cenderung  pada laki-laki ditemukan  lebih umum, khususnya pada  ranah pemecahan masalah dan aplikasi. Namun demikian,  perbedaan  tersebut  kecil  dan  perbedaan  gender  juga  dapat  berkurang  dari  waktu  ke waktu.  
Permasalahan gender dalam pendidikan merupakan salah satu isu yang cukup krusial. Isu gender dalam pendidikan merupakan implikasi tidak langsung dari  budaya  patriarkhi  yang  berkembang  di  masyarakat.  Budaya  patriarkhi membedakan  posisi  laki-laki  dan  perempuan.  Perbedaan  posisi  dan  peran tersebut  juga  menyebabkan  perbedaan  prestasi  belajar  antara  laki-laki  dan perempuan.  Dalam makalah  ini  mencoba  mengangkat  permasalahan  apakah  ada perbedaan prestasi belajar siswa laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran matematika di sekolah?
B.  Perbedaan Gender dalam Pendidikan
Pengertian  gender  adalah  suatu  sifat  yang melekat  pada  kaum  laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurut Jagtenberg dan D'Alton  (1995),  “gender and  sex are not  the  same  thing. Gender specifically refers  to  the social meanings attached  to biological differences.  ... The way we see ourselves and the way we interact are affected by our internalisation of values and assumptions about gender”.  
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi  melalui proses yang sangat panjang, contohnya melalui proses sosialisasi, ajaran keagamaan  serta kebijakan negara, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut seolah-olah dianggap dan  dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, perbedaan gender dapat menghasilkan bentuk-bentuk marginalisasi, ketidakadilan  (gender  inequalities), subordinasi, pembentukan  stereotipe, beban kerja ganda  (double burden)  serta bentuk-bentuk  kekerasan.  Kaum  perempuan  adalah  pihak  yang  paling  sering dirugikan dalam praktik-praktik perbedaan gender ini, maka konsep bias gender dapat diartikan pembentukan sifat atau karakter laki-laki dan perempuan secara sosial dan kultural yang menguntungkan  kaum  laki-laki  dan merugikan  kaum perempuan (Fakih, 2004). Namun dalam perkembangannya, konsep bias gender inipun  dapat  berlaku  sebaliknya.  Ketika  laki-laki  berada  pada  posisi  yang dirugikan, maka hal inipun dapat digolongkan dalam bentuk bias gender. 
Perbedaan  gender  dalam  pendidikan  dapat  terjadi  dalam  perolehan prestasi belajar. Prestasi belajar menurut Syah, sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah  (2008)  adalah  “taraf  keberhasilan  siswa  dalam  mempelajari  materi pelajaran  di  sekolah  yang  dinyatakan  dalam  bentuk  skor  yang  diperoleh  dari hasil  tes mengenai  sejumlah materi pelajaran  tertentu”. Menurut Kamus Besar Bahasa  Indonesia  (Depdiknas,  2008)  bahwa  yang  dimaksud  dengan  prestasi belajar adalah “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan  oleh  guru”.  Berdasarkan  uraian  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa prestasi  belajar  adalah  tingkat  keberhasilan  yang  dicapai  dari  suatu  kegiatan atau  usaha  yang  dapat  memberikan  kepuasan  emosional,  dan  dapat  diukur dengan alat atau tes tertentu. 
Perempuan dalam proses pembelajaran di kelas, pada dasarnya memiliki hak dan  kesempatan  yang  sama  untuk  aktif  dalam  proses  pembelajarannya. Perempuan  dan  laki-laki  dalam  setiap  situasi  pendidikan  tersebut  sama-sama terbuka untuk mengakses buku-buku di kelas. Namun, bahan-bahan belajar dan sikap  guru  yang  secara  halus  dapat mempengaruhi  penilaian mereka  tentang diri  mereka  sendiri  serta  masyarakat.  Bahan-bahan  belajar  yang  dimaksud adalah  bahan-bahan belajar  yang  membedakan  peran gender laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan  Indonesia  (Anonim,  2008)  membuktikan  bahwa  buku-buku pelajaran sarat dengan nuansa bias gender lebih dari 50 persen, meskipun telah dilakukan  perbaikan,  namun  masih  ditemukan  bias  gender  dalam  buku  ajar. Salah  satu  bentuk  bias  gender  seperti  dalam  memberikan  contoh: menggambarkan anak perempuan bekerja di dalam rumah, sedangkan anak laki-laki  membantu  ayahnya  bekerja  di  kebun.  Selain  berupa  gambar,  penokohan selama  ini  menggambarkan  bagaimana  perempuan  adalah  sosok  yang  lemah lembut,  penyayang  dan  cantik,  sedangkan  laki-laki  digambarkan  sebagai pemimpin, kuat, dan suka bekerja keras. 
Wanita  lebih  banyak  berpartisipasi  dalam  bidang  studi  yang  berbeda dengan pria  (seperti  lebih banyak mengambil  ilmu  sastra dan  ekonomi  rumah tangga  daripada  eksakta).  Jumlah  siswa  perempuan  yang memilih  jurusan  IPA atau  matematika  di  SMU  lebih  kecil  proporsinya  sehingga  mereka  lebih  sulit untuk memasuki berbagai jurusan keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai  bidang  teknologi  dan  ilmu-ilmu  eksakta  lainnya.  Pada  kedua  jenis jurusan  keahlian  itu,  proporsi mahasiswi  hanya mencapai  19,8  persen. Di  lain pihak mahasiswi lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan bidang manajemen (57,7 persen), pelayanan jasa dan transfortasi (64,2 persen), bahasa dan sastra (58,6 persen) serta psikologi (59,9 persen) (Suryadi dan Idris, 2004).
Bassey dkk (2008) melakukan sebuah studi mengenai “Gender Differences and Mathematics Achievement of Rural Senior Secondary Students  in Cross River State, Nigeria”. Penelitian tersebut dilakukan di wilayah pedesaan Nigeria. Hasil penelitian tersebut menghasilkan sebuah simpulan bahwa dalam mata pelajaran Matematika, laki-laki lebih unggul jika dibandingkan dengan perempuan. 
Perempuan dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas,  identik dengan keterampilan  ”pekerjaan  ibu  rumah  tangga”.  Mereka  dituntut  untuk  bersikap tenang,  bersifat  menghargai,  penuh  perhatian,  dapat  dipercaya,  serta  mau bekerja  sama.  Untuk  laki-laki  harapan  lebih  didasarkan  pada  kriteria kemampuan  akademik  seperti  pengetahuan,  kecakapan  intelektual,  dan kebiasaan kerja  (Ollenburger dan Moore, 1995). Atas dasar nilai-nilai  tersebut, perempuan  di  sekolah  lebih  memilih  kegiatan-kegiatan  ekstrakurikuler  yang bersifat “feminim”, seperti seni. Laki-laki lebih menyukai kegiatan yang sifatnya “maskulin”  seperti  olah  raga  atau  kegiatan  pecinta  alam  yang  memang memerlukan fisik yang kuat.
  Perbedaan gender lain mempengaruhi pria dan wanita bereaksi di kelas:
a)      Wanita memiliki pendengaran lebih teliti daripada laki-laki dan lebih sensitif terhadap suara keras
b)      Pria memiliki visi lebih teliti daripada perempuan walaupun mereka lebih cenderung buta warna.
c)      Wanita lebih mampu membaca wajah dan bahasa tubuh.
d)     Pria lebih baik dalam kegiatan belajar kinestetik, dan perempuan mungkin merasa puas untuk hanya mengamati.
e)      Wanita dan laki-laki cenderung tidak mampu belajar matematika.
f)       Pria memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk kegiatan, lebih impulsif, dan mengembangkan keterampilan motorik daripada perempuan.
g)      Wanita lebih baik dalam kecepatan persepsi
h)      Laki-laki lebih mampu mengingat isyarat visual sedangkan perempuan lebih mampu mengingat penempatan objek dan kata-kata.
i)        Pria mengatasi stres melalui "tindakan," sedangkan perempuan melalui "sharing"
(James, Dalam Press)

C.    Perbedaan Gender dalam Pelajaran Matematika
Beberapa  hasil  penelitian  lain,  menunjukkan  bahwa  faktor  gender  mempengaruhi  cara memperoleh  pengetahuan  matematika.  Keitel  (1998),  Pinto  (1998),  dan  Susento  (2006), menunjukkan  bahwa  gender  merupakan  faktor  yang  cukup  berpengaruh  dalam  proses konseptualisasi.  Sebagai  contoh,  Keitel  (1998)  menyatakan,  “Gender,  social,  and  cultural dimensions  are  very  powerfully  interacting  in  conceptualizations  of  mathematics  education,...”.Adanya  pengaruh  faktor  gender  dalam  proses  konseptualisasi menunjukkan  bahwa gender dapat berpengaruh pada penggunaan intuisi dalam memahami konsep-konsep matematika.
Dari  sisi  perbedaan  gender,  ditemukan  bahwa  bukan  hanya  adanya  perbedaan  kemampuan dalam  matematika  yang  didasari  oleh  faktor  gender,  tetapi  cara  memperoleh  pengetahuan matematika juga terkait dengan perbedaan gender. Keitel (1998), Pinto (1998), dan Susento (2006), menunjukkan  bahwa  gender  merupakan  faktor  yang  cukup  berpengaruh  dalam  proses konseptualisasi.  Sebagai  contoh,  Keitel  (1998)  menyatakan,  “Gender,  social,  and  cultural dimensions  are  very  powerfully  interacting  in  conceptualizations  of  mathematics  education,...”. Karena itu, diduga bahwa ada kontribusi faktor gender dalam penggunaan intuisi.
Beberapa  penelitian  untuk  menguji  bagaimana  perbedaan  gender  berkaitan  dengan pembelajaran matematika,  laki-laki  dan  perempuan  dibandingkan  dengan menggunakan  variabel-variabel  termasuk  kemampuan  bawaan,  sikap,  motivasi,  bakat,  dan  kinerja  (Goodchild,  & Grevholm,  2007). Beberapa  peneliti  percaya  bahwa  pengaruh  faktor  gender  (pengaruh  perbedaan laki-laki-perempuan) dalam matematika adalah karena adanya perbedaan biologis dalam otak anak laki-laki dan perempuan yang diketahui melalui observasi, bahwa anak perempuan, secara umum, lebih unggul dalam bidang bahasa dan menulis, sedangkan anak laki-laki lebih unggul dalam bidang matematika karena kemampuan-kemampuan  ruangnya yang  lebih baik  (Geary, Saults, Liu, 2000). Akibatnya, perbedaan  gender dalam matematika  cukup  sulit diubah. Namun di  lain  sisi, berbagai kajian  menyatakan  bahwa  tidak  ada  peran  gender,  laki-laki  atau  perempuan,  yang  saling mengungguli dalam matematika  (Weaver, 2003) dan pada akhirnya, perempuan bisa lebih unggul dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan matematika.
Salah  satu  temuan  terkini  (Mullis,  2004),  baik  studi  nasional  maupun  internasional,
menunjukkan bahwa perbedaan gender dalam matematika mengalami penurunan, tahun demi tahun. Hasil  kajian  komparasi  internasional  yang  luas  merupakan  suatu  trend  dalam  penelitian  gender secara  internasional menunjukkan bahwa perbedaan hasil belajar matematika antara negara-negara jauh  lebih besar daripada perbedaan hasil belajar matematika antara anak  laki-laki dan perempuan (Mullis,  2004).  Namun  demikian,  belakangan  ini,  hasil  penelitian  tentang  adanya  pengaruh perbedaan  gender  seringkali  tidak  signifikan  secara  statistik.  Hasil-hasil  penelitian  terakhir menunjukkan  bahwa  anak  perempuan  secara  konsisten  memperoleh  prestasi  yang  lebih  baik daripada  anak  laki-laki  di  kelas.  Lingkungan  pendidikan,  dimana  perempuan  diharapkan diperlakukan  sama  dengan  laki-laki  memiliki  peran  penting  dalam  pengurangan  pengaruh perbedaan gender. 
Anak  laki-laki  dan  perempuan  adalah  berbeda,  dan  sebagai  akibatnya,  muncul  perbedaan tentang  cara  belajar mereka.  Contohnya, Orhun  (2007) menginvestigasi  hubungan  antara  gender dan  gaya  belajar.  Hasilnya menunjukkan  bahwa  terdapat  perbedaan  di  antara  gaya-gaya  belajar yang  lebih  disukai  oleh  siswa  laki-laki  dan  perempuan.  Studi  tersebut menemukan  bahwa  siswa perempuan lebih menyukai gaya belajar konvergen. Kemampuan belajar yang dominan konvergen menggunakan  konseptualisasi  abstrak  dan melakukan  eksperimentasi  secara  aktif.  Siswa  dengan gaya belajar  ini  lebih menyukai  inquiry  tipe discovery. Sedangkan  siswa  laki-laki dalam  studi  ini kebanyakan  lebih  suka  gaya  belajar  assimilator.  Kemampuan  belajar  yang  dominan  assimilator menggunakan  konseptualisasi  abstrak  dan  observasi  refleksi. Mereka  belajar  dengan melihat  dan berpikir.
Hasil-hasil penelitian yang diuraikan dalam bagian ini menunjukkan adanya keragaman hasil-hasil  penelitian  mengenai  peran  gender  dalam  pembelajaran  matematika.  Beberapa  hasil menunjukkan  adanya  faktor  gender  dalam  pembelajaran  matematika,  namun  pada  sisi  lain, beberapa  penelitian  mengungkapkan  bahwa  gender  tidak  berpengaruh  signifikan  dalam pembelajaran  matematika
D.    Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perempuan Lebih Berprestasi 
Pada dasarnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor  tersebut  antara  lain  adalah  faktor  intern  yang merupakan  faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke  dalam  faktor  intern  yaitu  kecedersan  atau  intelegensi,  bakat,  minat  dan motivasi. Faktor berikutnya adalah faktor ekstern yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi  prestasi  belajar  yang  sifatnya  di  luar  diri  individu,  yaitu beberapa  pengalaman-pengalaman,  keadaan  keluarga,  lingkungan  sekitarnya dan sebagainya.
Ada  beberapa  argumentasi  yang  dapat  digunakan  untuk  menjelaskan perbedaan prestasi belajar   antara  laki-laki dan perempuan. Perempuan dalam hal  ini  diposisikan  sebagai  individu  yang memiliki  prestasi  belajar  yang  lebih baik  daripada  laki-laki.  Perempuan  pada  beberapa waktu  terakhir mengalami kemajuan  dalam  hal  prestasi  belajar,  perempuan  juga  dipandang  memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam bidang publik. Perkembangan masyarakat industri  memberikan  peluang  yang  lebih  banyak  dalam  sektor  publik. Perempuan  dalam  bursa  pasar  kerja,  mendapat  kesempatan  yang  lebih  luas dalam  mengembangkan  karirnya,  terlebih  lagi  bagi  perempuan  yang  belum menikah.  Kondisi  ini  sangat  berbeda  dengan  masa  sebelum  era  industri berkembang  dengan  pesat.  Perempuan  pada  masa  itu  hampir  tidak  memiliki kesempatan  untuk  mengembangkan  kemampuannya  di  sektor  publik. Perubahan  tersebut  merefleksikan  perubahan  sikap  di  antara  perempuan (Haralambos  dan  Horlborn,  2004).  Ketika  perempuan  diberikan  kesempatan yang  sama  dengan  laki-laki  untuk mengembangkan  kemampuannya  di  sektor publik maka perempuan berupaya untuk mencapai  tingkat pendidikan setinggi mungkin. 
Mitsos  dan  Browne  (dalam  Haralambos  dan  Horlborn,  2004) menjelaskan bahwa  terdapat bukti yang dapat menjelaskan bahwa perempuan memiliki  tingkat  prestasi  belajar  yang  lebih  baik  daripada  laki-laki.  Menurut mereka perempuan  lebih  termotivasi dan bekerja  lebih  rajin daripada  laki-laki dalam  mengerjakan  pekerjaan  sekolah.  Motivasi  dan  keterampilan  organisasi yang  lebih  tinggi  pada  perempuan  memberi  mereka  keuntungan  dalam pekerjaan  yang  ikut  diperhitungkan  dalam  ujian  selanjutnya  daripada kemampuan perempuan pada masa lalu. 
Menurut Rushton (dalam Clerkin and Macrae, 2006) menjelaskan bahwa perbedaan  prestasi  belajar  laki-laki  dan  perempuan  lebih  disebabkan  oleh perbedaan  tingkat  inteligensi.  Laki-laki  lebih  aktif  daripada  perempuan.  Akan tetapi, keaktifan laki-laki ini kemudian menyebabkan laki-laki menjadi lebih sulit untuk diatur. Hal inilah yang menyebabkan  laki-laki memiliki  prestasi  belajar yang lebih rendah daripada perempuan. 
Laki-laki  sering  membuat  keributan  di  kelas.  Mereka  lebih  suka membolos daripada perempuan, yang kemudian menyebabkan laki-laki banyak kehilangan waktu belajarnya di kelas. Budaya maskulinitas mendorong  laki-laki untuk  berpenampilan  macho  dan  keras.  Mereka  kemudian  lebih  bersifat “antipendidikan”  dan  “antibelajar”,  bersekolah  kemudian  dilihat  sebagai kegiatan  yang  tidak  macho  (unmacho)”.  Kemunduran  hasil  pekerjaan  tangan laki-laki  disebabkan  oleh  kurangnya  motivasi  laki-laki  dalam  mengerjakan pekerjaan  di  kelas.  Berkurangnya  kesempatan  bagi  sekelompok  laki-laki memungkinkan  rendahnya  kepercayaan  dan  penghargaan  diri  laki-laki  dalam kelompoknya. 
Kepercayaan  diri  perempuan  yang  lebih  baik  daripada  laki-laki  dalam menyelesaikan  tugas-tugas  belajarnya,  turut  mendukung  prestasi pendidikannya.  Mitsos  dan  Browne  mengatakan  bahwa  secara  singkat  dan umum  ketika  laki-laki  menyukai  sepak  bola,  permainan  olahraga  atau  game dalam komputer dan menarik diri dari aktivitas “perempuan”, perempuan lebih suka  membaca  atau  berdiam  diri.  Perempuan  lebih  mengembangkan keterampilan  berbahasa mereka  daripada  laki-laki,  dan  sejak  sekolah menjadi sarana  untuk  mengembangkan  keterampilan  berbahasa,  laki-laki  mengalami kemunduran  dalam  prestasi  karena  laki-laki  kurang  memusatkan  perhatian pada  keterampilan  berbahasa  (Haralambos  dan  Horlborn,  2004).  Mitsos  dan Browne  kemudian  menempatkan  perhatian  pada  aktivitas  membaca. Perempuan  lebih  suka  membaca  daripada  laki-laki.  Seorang  ibu  lebih  suka membaca  cerita  untuk  anak-anaknya  daripada  ayah.  Hal  ini  kemudian menyebabkan  perempuan  mengikuti  peran  yang  sama  dengan  ibunya  yang mendorong mereka untuk suka membaca daripada  laki-laki. Ketika perempuan beranjak dewasa perempuan  lebih suka membaca buku  fiksi daripada  laki-laki. Buku  fiksi  adalah  buku  yang  sering  dibaca  pada  awal-awal  tahun  di  sekolah dasar. Hal  ini memberikan kemampuan membaca  yang  lebih  pada  perempuan (dalam Haralambos dan Horlborn, 2004).
Francis  memberikan  penjelasan  mengenai  perbedaan  prestasi  belajar antara  laki-laki  dan  perempuan.  Menurut  Francis,  perbedaan  tersebut disebabkan  faktor  kepercayaan  diri  dan  ambisi  (Haralambos  dan  Horlborn, 2004).  Laki-laki mendominasi  kelas  dan  lebih  banyak menarik  perhatian  guru daripada  perempuan.  Kemudian,  prestasi  belajar  perempuan  mengalami kemajuan  meskipun  laki-laki  tetap  mendominasi  interaksi  di  kelas.  Perilaku sebagian  laki-laki  yang  “merusak”  memiliki  dampak  yang  negatif  dalam pendidikan  laki-laki dan perempuan. Harapan akan prestasi yang  rendah pada laki-laki  menyebabkan  dampak  negatif  dalam  mencegah  laki-laki  untuk mengembangkan  prestasi  lebih  cepat  daripada  perempuan.  Francis  meyakini adanya motif berprestasi yang besar pada diri perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki motivasi untuk berprestasi yang lebih besar daripada laki-laki.
Giddens  (2006)  menyatakan  bahwa  perempuan  seringkali  lebih  baik dalam melakukan  organisasi  dan memiliki motivasi  yang  lebih  tinggi  daripada laki-laki.  Perempuan  juga  terlihat  lebih  dewasa  daripada  laki-laki.  Satu manifestasi dari hal  faktor  ini adalah bahwa perempuan memelihara hubungan dengan  percakapan  dan  keterampilan  verbal.  Laki-laki  di  sisi  yang  lain bersosialisasi  menggunakan  cara  yang  lebih  aktif  dengan  olahraga,  game komputer dan bermain di lapangan dan lebih suka membuat keributan di kelas. Pola  perilaku  tersebut  kemudian  diafirmasi  oleh  guru  di  kelas,  yang memiliki harapan  yang  lebih  rendah  pada  laki-laki  daripada  perempuan  dan menempatkan  keributan  laki-laki  dengan  memberikan  perhatian  yang  lebih pada  mereka.  Dengan  kata  lain,  perilaku  laki-laki  yang  lebih  suka  membuat keributan merupakan satu aspek yang diperhatikan guru dan perilaku  tersebut menyebabkan  guru memiliki  harapan  yang  lebih  rendah  daripada  perempuan, artinya,  individu  yang  membuat  keributan  dianggap  sebagai  individu  yang kurang memiliki harapan untuk mampu berprestasi. 

KESIMPULAN
1)      Perbedaan jenis kelamin sebenarnya bukanlah sebuah  faktor pembeda yang mempengaruhi  prestasi  belajar,  namun  variabel  sosiallah  yang mempengaruhi perbedaan  tersebut.  Variabel  tersebut  salah  satunya  adalah  penilaian  pendidik dalam  menanggapi  karakter  atau  sifat  antara  laki-laki  dan  perempuan. Penghargaan  diri  dan  kepercayaan  diri  siswa  laki-laki  dan  perempuan turut  dipengaruhi  oleh  perlakuan  dan  harapan  pendidik  atas  diri mereka. Pendidik harus  memperlakukan  mahasiswa  laki-laki  maupun  perempuan  secara  adil sesuai  dengan  kekhasan mereka. 
2)      Peran pendidik merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran.  Bagaimana cara pendidik memperlakukan siswanya dapat  mempengaruhi  pencapaian  prestasi belajar mahasiswa. Untuk itu, pendidik harus memberikan motivasi dan penghargaan atas prestasi yang diraih peserta didik. Selain itu, pendidik harus memotivasi mahasiswa untuk meningkatkan budaya membaca kepada peserta didiknya. Hal ini  dikarenakan  kebiasaan  membaca  turut  mempengaruhi  prestasi  belajar siswa.














DAFTAR PUSTAKA

James, A. N. 2007. Gender Differences and the Teaching of Mathematics. Virginia Community College System. http://www.vccaedu.org/inquiry/inquiry-spring-2007/i-12-James.html diakses pada tanggal 23 Maret 2011.

Kaino, L.M. 1998. Undergraduates’ Attitudes And The Study Of  Mathematics At The University Of Swaziland.   University of Swaziland, Swaziland. http://www.google.co.id/webhp?hl=id&tab=Tw&q=Perbedaan%20gender%20dalam%20pembelajaran#q=Gender+differences+in+learning+mathematics+pdf&hl=id&biw=1024&bih=434&prmd=ivns&ei=l7OJTYzoN4HsrQfvkcnBDg&start=20&sa=N&fp=c494e1b41d517086 diakses pada tanggal 23 Maret 2011.
Muthukrishna, Nithi. 2010. Gender Differences In Mathematics Achievement: An Exploratory Study At A Primary School In Kwazulu-Natal. http://www.faqs.org/periodicals/201012/ 2187713391.html diakses pada tanggal 23 Maret 2011.