WRITING TO LEARN MATHEMATICS


WRITING TO LEARN MATHEMATICS

A.      Pengertian Writing to Learn Mathematics
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Hal ini sejalan dengan tujuan mata pelajaran matematika menurut permen 22 tahun 2006 tentang standar isi bahwa adalah peserta didik harus memiliki kemampuan sebagai berikut :
1.      Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2.      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan  matematika.
3.      Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4.      Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5.      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Baroody (1993) menyatakan bahwa ada dua buah alasan mengapa matematika merupakan alat komunikasi yaitu: (1) mathematics as a language, dan (2) mathematics learning as social activity. Sebagai bahasa, matematika tidak sekedar sebagai alat berfikir, alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah tetapi matematika juga digunakan sebagai alat untuk menyampaikan berbagai macam ide atau gagasan secara jelas, ringkas, dan tepat. Alasan yang kedua, mathematics learning as social activity. Seseorang yang memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik diharapkan dapat mengkomunikasikan pemahaman matematisnya kepada orang lain dengan baik pula. Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan di semua proses pembelajaran dan merupakan cara berkomunikasi, selain berbicara. Sehubungan dengan hal tersebut maka menulis dapat dijadikan metode dalam pembelajaran matematika.
Cangelosi (1992), berpendapat bahwa pembelajaran matematika pada dasarnya menghendaki siswa menerima pesan (to receive message) melalui membaca, mendengar guru atau yang lainnya, dan menghendaki siswa mengirim pesan (to send message) melalui berbicara, menulis ataupun memasukkan data ke dalam komputer. The Nuffield Mathematics (Sumantri,1988:8) mengemukakan tiga aturan yang digunakan dalam mengajar, yaitu: aku dengar dan aku lupa, aku lihat dan aku ingat, aku kerjakan dan aku mengerti. Dari ketiga aturan tersebut terlihat bahwa apabila dalam pembelajaran siswa hanya mendengar saja, maka mereka akan mudah lupa. Bila mereka belajar dengan melihat mereka akan mudah mengingat, tetapi bila mereka belajar dengan melakukan dan ikut berpartisipasi, dalam hal ini menulis dalam matematika, maka mereka akan mengerti tentang pokok bahasan yang sedang mereka pelajari. Toliver (2006) mengatakan “tidak hanya dapat saya gunakan kelas matematika untuk membangun kemampuan siswa untuk membaca, menulis, dan mendengar, tetapi dengan menekankan aktivitas tersebut saya dapat menjadi guru matematika yang lebih baik.” Dari pernyataan tersebut secara implisit dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi guru yang baik adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa melakukan aktivitas komunikasi matematika. Menjadi guru yang baik dan memberi kesempatan berkomunikasi secara matematika kepada siswa (salah satunya adalah aktivitas menulis) seperti merupakan dua sisi koin yang tidak mungkin dipisahkan.
Menulis adalah sebuah tindakan menganalisis, membandingkan fakta-fakta, dan mensintesis informasi (Farrel: 1978, dalam Louis Lim & David  Pugalee). Keterampilan menulis adalah kemampuan seseorang dalam melukiskan lambang garfis yang dimengerti oleh penulis bahasa itu sendiri maupun orang lain yang mempunyai persamaaan pengertian terhadap simbol-simbol bahasa tersebut (Nurjanah: 2005). Beberapa hal berkaitan dengan menulis adalah (a) penuangan informasi; (b) penuangan pikiran, gagasan, atau pendapat; (c) penggunaan bahasa tulis; (d) memperhatikan pembaca; dan (e) memberikan pemahaman terhadap pembaca (Santoso, 2003). Berdasarkan beberapa pengertian menulis tersebut, dapat disimpulkan bahwa menulis matematis adalah menuangkan informasi, gagasan, ide-ide matematika dengan menggunakan kata-kata, lambang-lambang dan simbol-simbol tertententu, agar dapat dipahami oleh orang lain, yang diawali dengan proses analisis yang telah dilakukan sebelumnya.
B.       Manfaat Writing to Learn Mathematics
Menulis dalam matematika adalah menjelaskan konsep matematika dengan bahasa sendiri, membuat suatu kalimat matematika menjadi suatu model matematika, dan menginterprestasikan grafik. Bretzing & Kulhavy (Slavin, 1997) menemukan bahwa menulis menyatakan ide-ide utama dalam kata-kata yang berbeda atau dengan kalimat sendiri dan membuat catatan dalam persiapan pengajaran adalah strategi membuat catatan yang efektif, sebab cara ini menghendaki proses mental atas informasi yang lebih tinggi.
Menurut Baroody (1993) ada beberapa kegunaan dan keuntungan dari menulis:
a)      Menyimpulkan, yaitu siswa diminta untuk merangkum pelajaran dalam bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini berguna karena dapat membantu siswa fokus pada konsep-konsep kunci dari suatu pelajaran, menilai pemahaman dan memudahkan retensi. Hal ini diperkuat oleh Witttrock (Slavin, 1997) menyatakan bahwa "One effective way is to have students write one-sentence summaries after reading each paragraph".
b)      Pertanyaan, yaitu siswa diminta untuk menuliskan pertanyaannya sendiri. Kegiatan ini berguna untuk membantu siswa merefleksi pada fokus yang tidak mereka pahami.
c)      Penjelasan, yaitu siswa diminta untuk menjelaskan prosedur penyelesaian dan bagaimana menghindari suatu kesalahan. Kegiatan ini berguna untuk mempercepat refleksi, pemahaman, dan penggunaan kata-kata yang tidak sesuai.
d)     Definisi, yaitu siswa diminta untuk menjelaskan istilah-istilah yang muncul dalam bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini berguna untuk membantu siswa berpikir tentang makna istilah dan menjelaskan pemahaman mereka terhadap suatu istilah.
e)      Laporan (reports), yaitu siswa diminta untuk menuliskan suatu laporan. Kegiatan ini berguna membantu siswa memahami bahwa menulis adalah suatu aspek penting dalam matematika untuk menyelidiki topik-topik dan isu-isu dalam matematika dan performan.
Ginsburg (Jones: 2006) menyebutkan siswa harus belajar menulis, membaca, dan memahami simbol-simbol matematika jika mereka ingin menjadi sukses dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika. Memberikan kesempatan menulis kepada siswa dalam pembelajaran matematika membuat siswa dapat menyadari apa yang sudah mereka pahami dan apa yang belum mereka pahami. Selain dapat digunakan untuk berbagi ide dan informasi, melalui menulis siswa dapat merefleksi pemahamannya tentang matematika. Menulis merupakan bagian penting dalam matematika. Ketika siswa ditantang untuk berpikir secara matematika dan meminta mereka untuk mengkomunikasikannya secara tulisan, ini berarti siswa ditantang untuk belajar memperoleh pemahaman yang semakin jelas dan meyakinkan.
C.      Contoh Kegiatan Menulis
Kegiatan Menulis sering tugas pendek yang meminta siswa untuk mendefinisikan,menjelaskan, atau membandingkan. Menulis dapat memiliki dampak besar pada pembelajaran siswa.
Contoh:
Dalam kata-kata Anda sendiri, menggambarkan suatu akar kuadrat
?
Sebuah akar kuadrat adalah bilangan yang dapat dikalikan dengan bilangan lain yang sama. Akar kuadrat merupakan invers atau kebalikan dari kuadrat dari bilangan. Menulis merupakan langkah-langkah untuk memecahkan masalah matematika.
1)      Mengatur dan Konsolidasi Berpikir
Menulis penjelasan atau ringkasan membantu siswa mengatur pemikiran mereka. Menulis membantu siswa membangun makna dari konsep-konsep.
Contoh: Jelaskan bagaimana Anda dapat menentukan apakah sebuah titik di (x,y) di atas, bawah, atau pada garis 2x - y = 8 tanpa menggambar garis itu. Berikan contoh masing-masing.
2)      Refleksi Belajar
Menulis adalah alat yang sangat baik untuk merenungkan membaca dan belajar. Siswa sering mendapatkan wawasan tambahan dengan memikirkan kembali konsep belajar dan menghubungkan mereka dengan cara baru. Waktu yang dihabiskan menulis memungkinkan waktu untuk refleksi. Meringkas memaksa siswa untuk merefleksikan bacaan mereka.
Contoh: Bandingkan dan bedakan ini istilah yang terkait dengan segitiga: segitiga yang sebangun dan segitiga yang kongruen.
3)      Meningkatkan Retensi
Tindakan sederhana menyalin definisi dapat meningkatkan retensi siswa. Dengan menulis definisi dalam kata-kata sendiri, siswa membuat konsep "mereka sendiri”. Menjelaskan konsep secara tertulis membantu siswa mengingatnya.
Contoh: Apakah yang dimaksud dengan asymptote? Jelaskan dengan kata-kata Anda sendiri.


Menulis matematika yang baik adalah mudah dibaca. Tentu saja, itu harus berisi matematika yang benar. Menulis matematika yang baik yaitu :
Ø  Terorganisir dengan baik.
Ø  Ringkas.
Ø  Menggunakan bahasa yang jelas dan tepat.
Ø  Menggunakan kalimat matematika yang benar.
Ø  Menggunakan simbol untuk operasi dan pola dengan benar.
Ø  Menunjukkan penalaran logis.


DAFTAR PUSTAKA

Baroody, Arthur J. 1993. Problem Solving, Reasoning, And Communicating (K-8). New York: Macmillan Publishing Company.
Cangelosi, James; S. 1992. Teaching Mathematics in Secondary and Middle School Research- Based Approach.New York : McGraw- Hill.
Dewi, Ista. 2009. Aktivitas Menulis dalam Pembelajaran Matematika. Artikel diambil dari http://karyailmiah-batang.blogspot.com/2009/11/aktivitas-menulis-dalam-pembelajaran.html.
Slavin, Robert R. 1997. Educational Psychology and Practice. Fifth Edition. USA: Paramount Publishing.
Sumantri, Bambang. 1988. Metode Pengajaran Matematika untuk SD. Jakarta : Erlangga.
Sunarto, H dkk. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)


                                    PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
                                     (PROBLEM BASED LEARNING)
A.      Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Namun dalam pembelajaran matematika yang terjadi cenderung textbook oriented, abstrak, dan sulit dipahami.  
Dalam hal ini perlu dilakukan pembaharuan, inovasi ataupun gerakan perubahan pendidikan kearah tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Pembelajaran matematika hendaknya lebih bervariasi metode maupun strategi guna mengoptimalkan potensi siswa. Pemilihan metode, strategi, dan pendekatan dalam mendesain model pembelajaran guna mencapai pembelajaran yang aktif dan bermakna adalah tuntutan yang harus dipenuhi bagi pendidik. Pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Dalam hal ini diperlukan pendekatan pemecahan masalah yang menempatkan guru sebagai fasilitator dan kegiatan belajar mengajar akan dititik beratkan pada keaktifan siswa, kegiatan belajar ini dapat mengasah kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengemukakan gagasan atau ide dan mampu bekerjasama.

B.       Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
a.      Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah
Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada peserta didik dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar (Fogarty, 1997). PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar tenting berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran, Moffit (Depdiknas, 2002). Model problem based learning memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata peserta didik, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada peserta didik dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut peserta didik untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance). Masalah dalam model problem based learning mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada peserta didik dikemas dalam bentuk ill-defined. Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan peserta didik dalam memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara peserta didik, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi.
Problem-Based Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah metode pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan (Duch, 1995).  Finkle dan Torp (1995) menyatakan bahwa PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik.  Dua definisi di atas mengandung arti bahwa PBL atau PBM merupakan setiap suasana pembelajaran yang diarahkan oleh suatu permasalahan sehari-hari.

b.      Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah
Berbagai pengembang pembelajaran berbasis masalah telah menunjukkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:
1)      Pengajuan masalah atau pertanyaan
Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik , menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a)      Autentik
Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
b)      Jelas
Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
c)      Mudah dipahami
Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
d)     Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
e)      Bermanfaat
Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
2)      Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki telah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3)      Penyelidikan autentik
Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.

4)      Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56).
Strategi PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)      Learning is driven by challenging, open-ended, ill-defined and ill-structured, practical problems. Jadi strategi PBL didorong oleh tantangan, lebih terbuka, masalahnya tidak jelas, tidak beraturan dan praktis.
2)      Students generally work in collaborative groups. Dalam PBL ini siswa bekerjasama dalam suatu kelompok untuk menemukan solusi suatu masalah.
3)      Teachers take on the role as "facilitators" of learning. Dalam PBL guru berperan sebagai fasilitator, yakni yang mengarahkan, membimbing, dan mendampingi siswa dalam proses pembelajaran.
4)      Instructional activities are based on learning strategies involving semantic reasoning, case based reasoning, analogical reasoning, causal reasoning, and inquiry reasoning, These activities include creating stories; reasoning about cases; concept mapping; causal mapping; cognitive hypertext crisscrossing; analogy making; and question generating. Penerapan kegiatan instruksional PBL didasarkan pada strategi pembelajaran yang melibatkan penalaran semantik, penalaran berbasis kasus, penalaran analogis, penalaran kausal, dan penalaran penyelidikan.
Selain itu, menurut Fogarty (1997) PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Pada hakekatnya karakteristik PBL ini menciptakan pembelajaran yang menantang siswa untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan menjalin kerjasama dengan siswa lain, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Jadi pembelajaran berpusat pada siswa. Menurut Hmelo-Silver & Barrows (2006) bahwa dalam perspektif konstruktivisme, peran instruktur/ guru dalam PBL adalah membimbing proses belajar daripada memberikan pengetahuan. Dari perspektif ini, komponen penting dalam proses PBL adalah adanya umpan balik (feed back), refleksi terhadap proses pembelajaran dan dinamika kelompok.
Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
c.       Kelebihan Pembelajaran Berbasis Masalah
PBL dapat diterapkan dalam kurikulum dan pembelajaran, mengingat pentingnya siswa/mahasiswa memiliki pengalaman dan kemampuan mengatasi masalah nyata dalam kehidupannya sehari-hari secara mandiri.
Adapun kelebihan menggunakan PBL, antara lain; (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
d.      Fase Pembelajaran Berbasis Masalah
Model problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty, 1997).
Ada enam fase dalam PBL yaitu (http://www.idrisharta.blogspot.com/):
Fase 1: Pengajuan permasalahan. Soal yang diajukan seperti dinyatakan sebelumnya harus tidak terstrktur dengan baik, dalam arti untuk penyelesaiannya diperlukan infoemasi atau data lebih lanjut, memungkinkan banyak cara atau jawaban, dan cukup luas kandungan materinya.
Fase2: Apa yang diketahui diketahui dari permasalahan?  Dalam fase ini setiap anggota akan melihat permasalahan dari segi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.  Kelompok akan mendiskusikan dan menyepakati batasan-batasan mengenai permasalahan tersebut, serta memilah-memilah isu-isu dan aspek-aspek yang cukup beralasan untuk diselidiki lebih lanjut.  Analisis awal ini harus menghasilkan titik awal untuk penyelidikan dan dapat direvisi apabila suatu asumsi dipertanyakan atau informasi baru muncul kepermukaan.
Fase 3: Apa yang tidak diketahui dari permasalahan?  Disini anggota kelompok akan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu pembelajaran yang harus dijawab untuk menjelas permasalahan.  Dalam fase ini, anggota kelompok akan mengurai permasalahan menjadi komponen-komponen, mendiskusikan implikasinya, mengajukan berbagai penjelasan atau solusi, dan mengembangkan hipotesis kerja.  Kegiatan ini seperti fase “brainstorming” dengan evaluasi; penjelasan atau solusi dicatat.  Kelompok perlu merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan informasi yang dibutuhkan, dan bagaimana informasi ini diperoleh.
Fase 4: Alternatif Pemecahan.  Dalam fase ini anggota kelompok akan mendiskusikan, mengevaluasi, dan mengorganisir hipotesis dan mengubah hipotesis.  Kelompok akan membuat daftar “Apa yang harus dilakukan?” yang mengarah kepada sumberdaya yang dibutuhkan, orang yang akan dihubungi, artikel yang akan dibaca, dan tindakan yang perlu dilakukan oleh para anggota.  Dalam fase ini anggota kelompok akan menentukan dan mengalokasikan tugas-tugas, mengembangkan rencana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.  Informasi tersebut dapat berasal dari dalam kelas, bahan bacaan, buku pelajaran, perpustakaan, perusahaan, video, dan dari seorang pakar tertentu.  Bila ada informasi baru, kelompok perlu menganalisa dan mengevaluasi reliabilitas dan kegunaannya untuk penyelesaian permasalahan yang sedang dihadapi.
Fase 5: Laporan dan Presentasi Hasil.  Pada fase ini, setiap kelompok akan menulis laporan hasil kerja kelompoknya.  Laporan ini memuat hasil kerja kelompok dalam fase-fase sebelumnya diikuti dengan alasan mengapa suatu alternatif dipilih dan uraian tentang alternatif tersebut.  Pada bagian akhir setiap kelompok menjelaskan konsep yang terkandung dalam permasalahan yang diajukan dan penyelesaian yang mereka ajukan.  Misalnya, rumus apa yang mereka gunakan.  Laporan ini kemudian dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan semua siswa. 
Fase 6: Pengembangan Materi.  Dalam fase ini guru akan mengembangkan materi yang akan dipelajari lebih lanjut dan mendalam dan memfasilitasi pembelajaran berdasarkan konsep-konsep yang diajukan oleh setiap kelompok dalam laporannya. 
Berdasarkan enam fase tersebut para peserta didik dapat menggunakan waktunya mendiskusikan masalah, membuat dugaan sementara, menentukan fakta yang relevan, mencari informasi, dan mendefinisikan isi pembelajaran itu sendiri.  Berbeda dengan pembelajaran tradisional, tujuan pembelajaran dalam PBM tidak ditetapkan dimuka.  Sebaliknya, setiap anggota kelompok akan bertanggungjawab untuk membangun isi-isu atau tujuan berdasarkan analisa kelompok tentang permasalahan yang diberikan. 

e.         Pengukuran dalam PBL
            Secara umum, dan paling sedikit, para peserta didik akan diukur dalam tiga hal:
1)      Kemampuan menerapkan.  Mendemonstrasikan kemampuan mengatur organisasi dan konsep dan kerangka manajemen perubahan untuk menentukan dan menganalisa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keefektifan organisasi secara keseluruhan.
2)      Kemampuan berfikir kritis, Pemecahan masalah dan komunikasi.  Mengidentifikasi permasalahan dan/atau kesempatan dalam kontek organisasi dan membuat rekomendasi tertentu, yang didukung oleh teori untuk memperjelas masalah.   Dengan tepat dan kompeten menggunakan kerangka teoritis dari desain organisasi dan literatur untuk menterjemahkan dan menyelesaikan masalah, dan mengkomunikasikan dengan efektif analisis kepada anggota lainnya dalam berbagai konteks.  Mengimplementasikan kegiatan penyelesaian masalah dengan mengutamakan kualitas.
3)      Kemampuan Kerjasama dan Kepemimpinan.  Bekerjasama sebagai anggota tim untuk menyelesaikan suatu tugas, mengambil inisiatif dalam menunjukkan dan menyelesaikan masalah atau mencari kesempatan untuk belajar dan berkembang dalam kelompok.
f.       Contoh
Fase 1: Pengajuan Permasalahan
Seorang pengusaha ingin merintis usaha bisnis dengan modal uang              Rp. 30.000.000, tetapi ia bingung untuk memulai usaha apa yang cocok karena dia tidak ahli dalam dunia bisnis. Rencanakan usaha apa yang anda sarankan untuk pengusaha tersebut agar uang-nya menghasilkan keuntungan yang maksimal!.


Fase 2: Apa yang diketahui?
Setiap kelompok mendiskusikan:
Ø  Dana yang tersedia adalah Rp 30.000.000
Ø  Peluang apa saja yang mungkin cocok untuk pengusaha.
Fase 3: Apa yang tidak diketahui?
·         Berapakah biaya modal setiap usaha?
-          Berapa besar?
-          Dimana info ini dapat diperoleh?
·         Berapakah biaya hidup selama kurun waktu tersebut?
-          Berapa besar?
-          Dimana info ini dapat diperoleh?
·         Apa tugas masing-masing anggota?
Fase 4: Alternatif Pemecahan
·         Usaha apa saja yang dapat dilakukan?
·         Mungkin tidak dilakukan beberapa usaha?
·         Usaha apa yang paling maksimal hasilnya?
Fase 5: Laporan dan Presentasi
·         Apa sistematikanya?
·         Apa tugas masing-masing anggota?
Fase 6: Pengembangan Materi dan Pembelajarannya
·         Apa materi utama dari permasalahan ini?
·         Apa materi prasyaratnya?
·         Apa implikasi selanjutnya dari materi ini?
         
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Beroriantasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Instruction). Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana.UNESA.
Hajriana. 2010. Problem Based Learning. Artikel diambil dari http://hajrianawarnadunia.blogspot.com/2010/04/problem-based-learning-pembelajaran.html.
Idris Harta. 2010. Problem Based Learning. Artikel diambil dari http://www.idrisharta.blogspot.com/.
I Wayan Satyasa. 2008. Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Kooperatif. Artikel diambil dari http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH8f58/8094f08b.dir/doc.pdf.

PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING)


                              PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING)
A.      Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Namun dalam pembelajaran matematika yang terjadi cenderung textbook oriented, abstrak, dan sulit dipahami.  Kebanyakan guru mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berfikir siswa, metode yang digunakan kurang bervarasi, sehingga motivasi belajar siswa menjadi sulit ditumbuhkan dan pola belajar cenderung menghafal dan mekanistis (Direktorat PLP, 2002).
Dalam hal ini perlu dilakukan pembaharuan, inovasi ataupun gerakan perubahan pendidikan kearah tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Pembelajaran matematika hendaknya lebih bervariasi metode maupun strategi guna mengoptimalkan potensi siswa. Pemilihan metode, strategi, dan pendekatan dalam mendesain model pembelajaran guna mencapai pembelajaran yang aktif dan bermakna adalah tuntutan yang harus dipenuhi bagi pendidik. Pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional.

B.       Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
a.      Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Sebagai salah satu model pembelajaran, cooperative learning (pembelajaran kooperatif) menekankan aktivitas kolaboratif peserta didik dalam belajar yang berbentuk kelompok kecil untuk mempelajari materi pelajaran dan memecahkan masalah. ( Asep Gojwan, 2004: 1)
Anita Lie (2007: 17) menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong royong, yakni sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dalam tugas yang terstruktur. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif hanya dapat berjalan kalau sudah terbentuk kelompok atau tim yang di dalamnya peserta didik bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4 – 6 orang saja. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Slavin (1995: 2) berikut ini :
”In cooperative learning methods, students work together in four to six member teams to master material initially presented by the teacher.”

Menurut Paul Suparno (2007: 134), pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana peserta didik dibiarkan belajar dalam kelompok, saling menguatkan, mendalami, dan bekerjasama untuk semakin menguasai bahan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memanfaatkan kerja bersama dalam kelompok kecil yang biasanya beranggotakan 4 sampai 6 orang, dimana keberhasilan kelompok ditentukan oleh keaktifan dari masing-masing anggota kelompok tersebut. Melalui proses belajar dari teman sebaya di bawah bimbingan guru, maka proses penerimaan dan pemahaman semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.
Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik tidak hanya mempelajari mata pelajaran, namun harus mempelajari ketrampilan khusus yang dinamakan ketrampilan kooperatif. Untuk dapat memaksimalkan kegiatan individu maupun kelompok, maka ketrampilan itu harus dimiliki peserta didik sebagai sikap positif, seperti kemandirian, bekerjasama, dan menghargai pendapat orang lain ( Widihastrini, 1999 : 17).

b.      Unsur-unsur  Pembelajaran Kooperatif
Isjoni (2007: 20) menyebutkan ada 5 ciri dari pembelajaran kooperatif, yaitu : (1) setiap anggota mempunyai peran, (2) terjadi hubungan interaksi langsung di antara peserta didik, (3) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman sekelompoknya, (4) guru membantu mengembangkan ketrampilan interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok ketika diperlukan saja.
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok dapat dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan yaitu:
1.      Saling ketergantungan Positif
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
2.      Tanggung Jawab Perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pendidik yang efektif dalam model pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.


3.      Tatap Muka
Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4.      Kornunikasi Antar Anggota
Unsur ini menghendaki agar siswa dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5.      Evaluasi Proses Kelompok.
Pendidik perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

c.       Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. Menurut Ismail (2003: 21) terdapat 6 (enam) langkah dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:


Langkah
Indikator
Tingkah Laku Guru
Langkah 1
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa.

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa.
Langkah 2
Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi kepada siswa.
Langkah 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru menginformasikan pengelompokan siswa.

Langkah 4
Membimbing kelompok belajar.
Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok-kelompok belajar.
Langkah 5
Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Langkah 6
Memberikan penghargaan.
Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.

d.      Model Pembelajaran Kooperatif
Beberapa tipe model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988) atau Sharan (1990) dalam Rachmadi (2006) sebagai berikut:
1.      Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Aronson dkk. Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut:
a)      Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 - 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok jigsaw (gigi gergaji).
b)      Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
c)      Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
d)     Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
e)      Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
f)       Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2.      Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Heads Together)
Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Pada umumnya NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Langkah-langkah penerapan NHT:
a)      Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b)      Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau awal.
c)      Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
d)      Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
e)      Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor (nama) anggota kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari kelompok.
f)       Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
g)      Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual.
h)      Guru memberi penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
3.      Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions)
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk. Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD:
a)      Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b)      Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual sehingga akan diperoleh skor awal.
c)      Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
d)     Bahan materi yang telah dipersiapkan didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar. Pembelajaran kooperatif tipe STAD, biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman materi (Slavin, 1995).
e)      Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f)       Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual.
g)      Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
4.      Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assited Individualization atau Team Accelarated Instruction)
Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama. Langkah-langkah pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai berikut:
a)      Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.
b)      Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.
c)      Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
d)     Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
e)      Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f)       Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.
g)      Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
e.       Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan yaitu (http://xpresiriau.com/) :
1.      Kelebihan Pembelajaran Kooperatif
a)      Memberi peluang kepada siswa agar mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerja sama dalam merumuskan ke arah satu pandangan kelompok (Cilibert-Macmilan, 1993).
b)      Melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill) seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas (Stahl 1994).
c)      Siswa yang belajar dengan mengunakan metode pembelajaran kooperatif akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari rekan sebaya Sharan (1990).
d)     Meningkatkan kemampuan akademik, kemampuan berpikir kritis, membentuk hubungan persahabatan, menimba berbagai informasi, belajar menggunakan sopan-santun, rneningkatkan motivasi siswa memperbaiki sikap terhadap sekolah dan belajar mengurangi tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa dalam menghargai pokok pikran orang lain (Johnson, 1993).

2.      Kekurangan Pembelajaran Kooperatif
Kekurangan model pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikran dan waktu;    2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai; 3) Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas. Sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan; 4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif. Faktor dari luar erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yaitu kegiatan belajar mengajar di kelas cenderung dipersiapkan untuk keberhasilan perolehan UN/UNAS.

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta: Penerbit Grasindo.
Ditjen Dikdasmen Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Buku5: Pembelajaran Kontekstual. Jakarta.
Isjoni. 2007. Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Rachmadi W (2006). Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Bahan Ajar Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika.
Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning. Second Edition. Massachussetts: Allyn and Bacon Publishers.
Suparno, P. (2007). Metodologi Pembelajaran Fisika: Konstruktivistik dan Menyenangkan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Zainal, Rusli. 2009. “Kelebihan dan Kelemahan Cooperative Learning”. Artikel diambil dari http://xpresiriau.com/.